Hanifa mengambil selimut, menyuruh saya bersembunyi di baliknya, kemudian dia akan mencari-cari saya di tempat-tempat yang lain. Di dalam lemari, di bawah meja, di toilet, di dapur, di balik gorden, dan akhirnya di tempat yang sejak awal dia ketahui sebagai tempat persembunyian saya. Dia singkapkan selimut itu sambil berteriak, "Oh di sini rupanya, Ifa cari-cari ibu tadi," katanya. Wajah berbinar-binar. Setelah itu ganti, dia yang sembunyi di tempat yang sama, saya yang mencari. Sambil pura-pura sibuk mencarinya dengan suara ribut, saya memanfaatkan giliran itu untuk mengerjakan yang lain, Merebus air, mengumpulkan sampah bekas guntingan kertas yang berserakan di karpet, membaca sedikit lagi novel yang dari tadi hanya bisa dipegang-pegang. "Hanifa di mana ya, kok di dapur nggak ada ya," kata saya sambil mondar-mandir menyelesaikan urusan saya. Setelah beberapa menit saya datangi dia, membuka selimutnya, berharap dia sudah tertidur sementara saya biarkan diam sendiri di sana. Dia bersorak girang karena saya temukan. Setelah itu giliran boneka Bigbird.

Hampir tiap siang kami main itu. Permainan yang keluar dari semua aturan yang diketahui untuk main sembunyian. Hanifa belum mengerti aturannya. Bahkan seruan yang disahutkan di awal permainan itu pun dia salah mengerti.
Dengarkan baik-baik perkataan anak-anak. Kalimat itu terbaca di sebuah papan pesan di pinggir jalan itcho-dori, Fuchu. Seperti mengingatkan saya yang sedang menjawab Hanifa hanya dengan ah uh oh hmmm apa ya sepanjang jalan karena suaranya tidak terdengar jelas sambil bersepeda. Saya memutuskan untuk berhenti, bertanya baik-baik apa sih yang dia katakan. "Kok coopnya jauh," dia bilang. "Kita mau belanja di mana. Ibu nanti mau beli tapioka kan?" Tapioka, dia baru mengenal kata ini dan beberapa hari ini sangat sering diulang-ulangnya. Mungkin terasa asyik mengucapkannya.
Saya tahu tandanya kalau Hanifa sedang menyimpan sebuah rahasia dari saya. Dia tiba-tiba akan menyunggingkan senyum yang diam-diam meledak menjadi tawa. Dia memandang saya dengan sorot mata yang mengundang rasa ingin tahu, melonjak-lonjak, sambil melirik ke sebuah arah, tempat dia menyimpan rahasianya. Rahasianya masih berupa suatu benda atau hasil perbuatan yang tidak saya sukai. Makanan yang dia buang tanpa saya lihat, coretan atau guntingan kertas yang pernah saya larang untuk dia lakukan tapi diam-diam dia coba untuk memenuhi rasa ingin tahu. Kalau kepergok sedang melakukannya dia akan tertawa menjerit. Kia tahu dia sedang melakukan sebuah perbuatan yang salah.

Kalau hal itu berupa sebuah perbuatan yang masih bisa saya toleransi, misalnya main air sabun yang sengaja saya sediakan beberapa hari ini, dia menjerit kaget kemudian mengusir saya pergi kalau saya tiba-tiba muncul di tengah keasyikannya. Dia tidak ingin diganggu, katanya. Tentu saya akan pergi lagi. Saya hanya ingin melihat situasi, apakah dia aman dan tidak kedinginan. Kesempatan ketika dia asyik bermain sendiri juga kesempatan emas buat saya.
Hanifa suka kegiatan yang berpola. Saya melihat kecenderungan itu dalam permintaannya untuk mengulang sebuah kegiatan dalam urutan yang pernah dikenalnya. Ke koganei koen, dia pertama-tama minta ke kolam untuk melihat kame, kemudian main pasir, buranko, suberidai, terakhir, ke suberidai panjang, atau naik bukit menyelamatkan beruang sebelum pulang. Persis urutan yang kami ambil dalam beberapa kunjungan terakhir. Kalau saya memperkenalkan selipan baru, misalnya mampir ke toilet dekat bapak pemain saksofon, dia ingin itu juga dimasukkan dalam urutan kegiatan wajib di koganei koen. Tentu saja saya tidak mengamininya, dan harus menyediakan argumen yang bisa dia terima.

Sebelum tidur dia punya urutan kegiatan, ganti pampers, kencing, sikat gigi, baca buku, matiin lampu, pegang boneka, baca doa tidur. Kegiatan seperti ini sudah dikenalnya sebagai persiapan tidur, meski sesekali ada yang terlewat.

Anak-anak memang senang kegiatan yang berpola. Dia senang kalau tahu apa yang akan terjadi setelah melakukan sesuatu. Salah satu penyebab mengapa anak-anak suka dibacakan ulang sebuah buku sampai orangtuanya bosan adalah karena dia suka predictability. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi setelah satu peristiwa dalam cerita itu, dia merasa in control. Barangkali juga karena dia suka merasakan bahwa pengetahuannya benar.
Hanifa minta bermain di ruang bola-bola Nagasakiya kemarin sore. Saya membawanya ke sana. Anak-anak ramai bermain, sabtu sore. Bahkan anak-anak besar kelas 2-3 sekolah dasar pun ada. Hanifa pelan-pelan membaur, tapi lebih banyak main sendiri, mengamati, tidak terlibat. Orang-orang datang dan pergi hingga akhirnya hanya satu anak perempuan bersama ayahnya. Anak itu lebih besar dari Hanifa. Ayahnya ikut bermain di dalam. Melempar-lempar bola, berjumpalitan. Sesekali permainan mereka membuat Hanifa tertawa. Tapi Hanifa seperti bertekad untuk sulit diajak hanyut dalam kegembiraan, dia seperti menyesal kalau tidak bisa menahan tawanya, dia jadi malu, langsung terduduk meringkuk menghadap dinding di tempat dia berdiri, mukanya merah. Senyumnya ragu-ragu dan takut-takut.
Perang. Bukan perang di Aceh atau Irak. Saya sedang berperang dengan Hanifa, mendesakkan beberapa keteraturan dan ketertiban pada perilakunya. Dia masih suka membuang makanan yang sedang dikunyahnya ke lantai, main ludah dan menyemburkannya ke meja atau di mana saja. Dia masih menolak untuk menyimpan mainan sebelum tidur. Saya menuntut dia untuk menghentikan perilaku itu. Dia seperti menguji ketegasan saya dengan sikap keras kepalanya. Dia hanya senyum-senyum mendengar larangan saya, melihat ekspresi marah saya. Dia tahu perbuatan yang tidak saya sukai , tahu kalau itu dilarang dan tidak baik. Tapi sikap menolak seperti sudah alamiah saja pada diri kita --siapa pun-- ketika mendengar sebuah larangan. Sulit untuk betul-betul yakin bahwa dia akan ingat dan mau berubah setelah diperingatkan, setelah dia berjanji tidak akan mengulanginya. Meminta keterlibatannya untuk memperbaiki hasil perbuatan itu pun sungguh sulit. Dalam situasi seperti ini saya kadang tidak bisa mempertahankan sikap tegas. Padahal, sekali ditoleransi, dia akan mendapat kesan tentang kemungkinan untuk mendobrak pertahanan saya, kemungkinan untuk mencuri lagi kesempatan mengulang perbuatan yang sama, memetik lagi sebuah maaf. Dan, saya harus membangun lagi dari awal.
Kadang-kadang orangtua menanyakan sesuatu yang sangat tidak penting buat anak-anak. Mau jadi apa kalau besar nanti, termasuk salah satu pertanyaan yang seperti itu. Tapi karena latah, iseng-iseng saya menanyakan itu pada Hanifa. Tentu saja saya tidak berharap sebuah jawaban yang dipikir matang-matang, jawaban serius yang memberi petunjuk tentang apa yang dia cita-citakan. Soal itu sama sekali belum ada dalam benaknya. Jadi, tidak terelakkan saya merasakan jawaban konyolnya sebagai ejekan terhadap pertanyaan yang tidak masuk akal itu. Jawaban yang tadi keluar dari mulutnya adalah sebuah kata asal bunyi, petukaselasa. Kami sama-sama terdiam beberapa jenak sebelum akhirnya sama-sama meledakkan tawa dengan jawaban itu. Dia sepertinya tahu kalau kata itu tidak berarti apa-apa dan sengaja mengucapkannya.

Lebih baik saya bertanya tentang kesukaannya. Warna, makanan, minuman, binatang, mainan, cerita, angka, huruf dan tempat apa yang paling disukainya. Setiap kali ditanya dia bisa saja memberi jawaban yang berbeda. Hari ini warna kesukaannya adalah hijau. binatang kesukaannya adalah sakana.
Hujan rintik dari pagi. Tidak cukup keras, kami bisa duduk di teras belakang tanpa kehujanan. Saya duduk membaca novel, di depan saya Hanifa duduk di kursi merahnya, membaca buku-buku cerita bergambar dengan bahasanya sendiri. Cepat sekali dia menyelesaikan satu buku. Kadang-kadang dia membolak-balik halaman tanpa bersuara.

Hari ini saya jadi raksasa, Hanifa jadi Anika--nama tokoh dalam salah satu buku cerita yang baru saya pinjamkan dari toshokan sabtu lalu. Kami menggambar dan menyanyi, melukis bunga putih dan kuning yang ada di halaman. Membuat siluet tangan dan kaki di atas kertas. Merasakan udara dingin dalam cuaca mendung seharian. Jauh lebih asyik daripada melewatkan waktu dengan menonton televisi. Bersentuhan langsung dengan apa yang ada di dunia sekitar.

Saya baru menyadari satu lagi alasan mengapa jam menonton televisi bagi anak-anak harus dibatasi. Mereka perlu mengalami langsung dunia di sekitarnya. Memegang batu, daun, tanah, hujan dengan tangannya. Merasakan dinginnya berada di tengah hutan yang lemba, panasnya sinar matahari, mendengar gemerisik daun kering terinjak kaki, menyentuh kulit sapi yang kasar, mengelus bulu lembut kucing yang lewat di depan rumah. Dia perlu mengalami persahabatan dengan orang-orang yang nyata ditemuinya, bercakap-cakap dengan mereka, mencicipi rasa kecewa, bahagia, gembira dalam berinteraksi dengan orang. Bukan sekadar melihat dan mengetahuinya lewat tayangan acara televisi. Pengalaman-pengalaman langsung seperti itulah yang akan menumbuhkan dalam dirinya keterampilan hidup dan kemampuan mengapresiasi yang sesungguhnya.

Sore ini setelah hujan reda kami berjalan-jalan hampir satu setengah jam, menyusuri nogawa bolak-balik, melintasi hutan yang masih basah. Daun-daunnya makin lebat di pertengahan bulan Mei ini. Hanifa selalu menikmati perjalanan sepanjang nogawa, memetik bunga, melihat burung, ikan dan kura-kura, menginjak genangan air di jalan dengan sepatu boot barunya. Pulangnya dia minta naik bus. Kami naik dari halte dekat pom bensin sampai depan daiyonsho. Sekarang dia tidur kelelahan.
Saya kadang merasa bersalah jika karena sebuah kesibukan yang mendesak, saya hanya bisa menanggapi Hanifa dengan hmmm dan oooya yang dibuat-buat. Dia tampaknya juga bisa membedakan komentar yang penuh perhatian dan yang asal-asalan. Tentu saja dia tidak puas jika komentar asal-asalan itu berlangsung lama. Kalau sudah begitu konsentrasi bermainnya akan buyar, dia akan menempel dan merengek di dekat saya. Dia makin banyak bicara, makin menuntut komentar dan jawaban sungguh-sungguh saya. Dia tarik saya untuk ikut dalam permainannya, atau dia yang harus terlibat dalam pekerjaan saya. Dia minta merekam suaranya di Zaurus atau minta game sesame street di komputer, atau minta dibacakan buku yang saya sedang baca dengan suara keras.
Hanifa memang sedang belajar berdisiplin, tapi dia juga sedang belajar menegaskan keinginan dan memperlihatkan kekecewaan kalau permintaannya tidak dipenuhi. Wajahnya bisa berubah begitu sedih memelas. Menahan tangisan dengan ujung bibir tertarik ke bawah, muka merah, mata mulai basah. Suaranya berat dan intonasi kalimatnya terdengar ragu, seperti ingin menguji, atau mengantisipasi reaksi yang sudah diduganya akan menolak permintaan dia. Dia tahu permintaan apa yang tidak akan saya luluskan. Dia bertanya hanya untuk memastikan itu. Dulu dia bisa menerima penolakan tanpa sedih. Sekarang faktor keinginan pribadinya mulai muncul, dia mulai kecewa kalau ditolak.

Kadang-kadang permintaannya sulit untuk dipenuhi. Minta coklat menjelang tidur, ganti baju dan celana beberapa kali dalam sehari, jalan-jalan keluar waktu hujan. Tapi, lucunya, kadang-kadang dia punya cara berkompensasi jika satu permintaannya ditolak. Dia mengkhayalkan jalan keluarnya. Misalnya, dia akan pura-pura membuat permen sendiri di tangannya atau pura-pura mengambilnya dari satu tempat, lantas memasukkannya ke dalam mulut, mengisapnya seperti permen yang sangat enak. Setelah itu dia bisa kembali tertawa.
Hanifa sedang berada pada tahap usia pembentukan disiplin. Bukan baru kali ini dia ditegur dan dimarahi kalau membuat kesalahan. Membuang-buang makanan, melempar barang, tidak mau menyimpan kembali mainan menjelang tidur, berteriak keras-keras, melompat-lompat di lantai tatami, mencoret dinding dan buku bacaan, menyobek plastik alas meja, memasukkan tangan ke mulut. Itulah deretan perilaku yang sering membuat orangtuanya marah. Tapi tampaknya baru sekarang dia menyadari ketidaksukaan kami pada perbuatan itu. Sekarang, jika diperingatkan dia akan memperhatikan wajah berkerut atau ekspresi marah pada wajah kemudian mau berbuat seperti yang diinginkan darinya. Dulu dia tidak peduli. hanya tertawa dan tetap mengulangi perbuatan yang sama, enggan untuk ikut bertanggung jawab. Siang tadi dia membuang makanan yang sedang dikunyahnya. Saya menyuruh dia membersihkannya sendiri. Dia lantas mengambil tisu dan mengumpulkan makanan yang berserakan itu.

Dia juga mulai menyadari arti janji. Saya bilang, Hanifa baru boleh naik babycar setelah memasukkan semua koin yang sudah dikeluarkan dari celengan miki. Cepat-cepat dia menyelesaikan pekerjaan itu. Begitu beres dia berteriak, "Sekarang ifa boleh naik sepeda!" --istilahnya untuk babycar itu. Dia mulai mengenal reward dan punishment. Sebuah tahap baru dalam pembentukan disiplinnya.

Saya kadang berpikir kegembiraan yang diperlihatkan Hanifa ketika akan mendatangi sebuah tempat yang ramai oleh anak-anak lain hanya sesuatu yang semu. Ketika dia betul-betul berada di sana, dia tidak gembira. Tidak mau ikut bermain dengan mereka, tetap memperlihatkan ketidaksukaannya pada keramaian. Dia sering menghindar berada di dekat-dekat anak yang tidak dikenalnya, lebih senang menjadi pemerhati dan komentator dari jauh. Dia butuh waktu yang lama sebelum akhirnya mau bergabung. Itu pun sangat terbatas. Dia hanya memilih satu atau dua orang untuk jadi kawan berinteraksi dengan dekat. Di pengajian kemarin, hanya ketika akan pulang dia baru mau bermain. Itu pun hanya dengan satu orang teman, Husyam.

Hanifa sangat gembira ketika teman-temannya sudah berkumpul kemarin. Dia begitu berbeda dibanding setahun yang lalu, ketika masih takut bertemu orang lain, tidak suka keramaian, dan hanya diam menyendiri di tengah orang banyak. Saya pernah memperhatikan bagaimana dia pura-pura tidur di sebuah acara pengajian yang ramai. Dia enggan membuka mata dan ikut menikmati keramaian itu. Saat itu saya juga masih baru ikut pengajian ibu-ibu Tokyo barat. Hanifa masih belum terbiasa. Sekarang, setiap hari dia bertanya tentang teman-teman yang dia ketahui namanya, mengkhayalkan apa yang sedang mereka lakukan dan membuat mereka bagian dari cerita yang dia karang dengan tokoh-tokoh bonekanya.

Sambil menunggu teman-temannya datang untuk pengajian iqra pagi ini Hanifa melewatkan waktu dengan membaca. Dia bolak-balik ke kotak bukunya, mengambil satu di antara buku yang baru saya pinjamkan kemarin, lalu kembali duduk di bangku lipat yang saya letakkan dekat jendela di samping saya. Dia sudah menanti-nanti keramaian di rumahnya. Sejak dua hari yang lalu saya sudah memberitahu bahwa teman-temannya akan datang belajar mengaji di sini, "Di kamar yang berkarpet putih ini?" dia bertanya, ingin menandai dengan lebih jelas di sebelah mana teman-temannya nanti akan berkumpul. Takara, Hayyan, Nisa, Kak Mika, Bang Genta, Marina, bersama ibu-ibu mereka yang sudah jadi pengisi lingkaran sosialnya.

Sudah pukul sepuluh lebih, belum ada yang datang. Hanifa sudah siap dari tadi. Rambutnya dikepang dua, mau diperlihatkan kepada Tante Wiwit, katanya. Dia mengenakan baju gaun dengan rok lebar hadiah dari Mbak Tia itu.
Walaupun jarinya sebenarnya tidak sakit Hanifa minta dipasangkan plester di sana. Barangkali hanya sebuah goresan kecil dengan tangkai buah anggur yang sedang dimakannya. Setiap hari beragam tempat di tubuhnya jadi tempat menempel plester, ada luka atau tidak.


Bukan karena ada luka tentu saja. Anak-anak suka minta dipasangi plester barangkali untuk mendapatkan kepastian bahwa perlindungan selalu tersedia untuk dia. Beberapa hari lalu saya bertemu Fariz, anak kedua Mbak Titis, yang sedang berplester di mulutnya. Ibunya bilang, Fariz sering juga minta plester, tapi hari ini yang sakit adalah mulutnya, jadi di situlah plester itu terpajang dalam perjalanan berbelanja bersama ibunya pagi itu.
Mukena memang bukan barang baru buat Hanifa. Dia sudah mengenalnya sejak setahun belakangan ini. Dia sudah sering mengenakannya ketika ikut shalat, mencoba beragam cara untuk memasangnya, di kaki, di tangan, dibalik, dan dijadikan syal . Waktu masih baru, dia sangat bersemangat memakainya dengan lengkap. Dia belum bisa memakainya sendiri, selalu minta dipasangkan. Kemudian dia beranjak ingin coba memasangnya sendiri, sama sekali tidak mau menerima bantuan meskipun kelihatan begitu sulit memasang bagian atas, menemukan lubang untuk kepala dan memasang talinya ke belakang kepala. Hanya kalau dia sudah menyerah dan minta bantuan campur tangan kami diperbolehkannya.

Sekali waktu dia pernah mendesak memasang mukena sebagai sarung, memaksa kakinya masuk ke lubang kepala. Tentu saja tidak bisa. Tapi dia memaksa. Di masa yang lain hanya mau memakai sarungnya saja karena memasang mukena terasa terlalu sulit dan dia sedang tidak mau repot. Waktu itu dia sudah tidak lagi terpukau dengan mukena dan kemiripannya dengan yang saya pakai waktu shalat. Pada puncaknya dia tidak mau memakainya sama sekali waktu ikut shalat.

Malam ini dia mendapat penyegaran dalam memakai mukena, dia menemukan ransel putih kecil bergambar Teletubbies hijau pembungkus mukena itu ketika ikut membantu saya membongkar lemari. Di dalam ransel ada selembar kain kecil berlapis gabus yang dipakai sebagai tempat sujud. "Seperti yang dipakai mio itu ya," katanya. Dia langsung mengajak saya shalat saat itu juga. Belum masuk waktu maghrib, saya tidak ikut tapi hanya membantu dia memasang mukena dengan lengkap. Matanya berbinar terpusat pada tangan saya yang memegang mukena untuk dipasangkan ke wajahnya. Malam ini mukena jadi mainan yang sangat menarik lagi.
Tengah malam Hanifa terbangun dari mimpinya. Kata-kata yang diucapkannya bisa sangat aneh. Pukul dua, hari masih gelap, saya tertidur nyenyak, tiba-tiba dia berteriak keras, "Ifa mau siram bunga!" menjerit sambil matanya mengatup. Memaksa. Tak ada penjelasan yang bisa dia terima. Tapi akhirnya dia menyerah karena lelah dan kantuk, minta minum kemudian tidur lagi. Tidak lama, terbangun lagi. Minta supaya botol minumnya diisi lagi. Wah, rasanya ingin marah. Dia betul-betul tidak mengerti batas kemungkinan. Setelah melewati pergulatan, dia kembali tidur. Pagi pukul enam, dia tersentak lagi dari mimpinya, minta “naik sepeda di kamar mandi”! Begitu persisnya kalimat yang diucapkannya. Saya ingin ketawa, dia tidak butuh alasan. Jawaban ya maupun tidak, tidak bisa mempengaruhi. Tidak bisa menenangkannya. Dia hanya menyerah pada keadaan, minta minum, kemudian tidur lagi.
Hanifa sepertinya masih memandang orangtuanya sebagai manusia serbabisa, yang bisa mengusahakan apa saja yang dimintanya. Tadi dia memetik sekuntum bunga dandellion (tanpopo) di jalan. Tanpa sadar tangannya mencabut bulu-bulu halus dan kelopak bunga itu sampai habis. Tiba-tiba dia menangis, ingin lagi bunga yang sama. Mudah saja, tinggal ambil di jalan kalau masih berada dekat-dekat bunga itu. Tapi jadi masalah kalau sudah sampai di rumah dan dia merengek minta bunga yang sama saat itu juga.

Dia melihat seekor kucing coklat melompat di pagar, kemudian kucing itu menghilang. Dia merengek, minta supaya peristiwa itu diulang. Dia ingin kucing itu melompat lagi persis seperti tadi. Sepanjang jalan dia menuntut itu, penjelasan apa pun yang saya berikan tidak bisa diterimanya, seakan-akan sebuah penolakan hanya karena saya malas atau tidak mau memberinya.

Masalahnya, dia tidak mudah lupa. Berjam-jam kemudian, ketika hari mulai malam dan sudah tidak mungkin lagi keluar untuk mengusahakan apa yang diinginkannya, dia masih ingat dan meminta barang atau peristiwa yang sama. Saya tidak selalu bisa bijak menghadapi ini, atau sekadar sabar dan mengalihkan perhatiannya. Kalau saya pun sedang capek, saya hanya diam dan membiarkannya menangis. Seperti menuntut dia untuk mengerti sebuah kemustahilan. Tampaknya dia masih belum tahu batas kemampuan orangtuanya. Masih belum tahu mana yang mungkin mana yang tidak mungkin. Baginya saat ini tidak ada yang tidak mungkin. Semua masih berada dalam relung kemungkinan.
Mungkin instink keibuan perempuan memang sudah ada sejak lahir. Hanifa sering membayangkan dan memperlakukan boneka-bonekanya seperti anak-anak bayi yang baru lahir. Di antaranya ada yang jadi anaknya sendiri. Dia bacakan buku, bawa ke dokter, jalan-jalan dengan kereta bayi dan dia susui. Saat ini boneka Ojarumaru yang sedang jadi bayinya.