Hanifa mencampuradukkan arti kata-kata negatif seperti tidak, bukan dan belum. "Sepatunya warna merah ya," tanya saya. Dia jawab, "Belum." "Mau pakai baju yang ini?" "Belum." "Sudah disimpan, Fa?" "Nggak," katanya. Untuk yang terakhir ini barangkali maksudnya adalah penolakan atas perintah, seperti yang belakangan begitu sering dia tunjukkan. Dia suka menjawab tidak untuk semua ajakan.

"Mukanya nggak terbuka, ya," kata Hanifa mengomentari onichan yang sedang nyanyi tentang ohigeyasan. Berganti lagu yang lain, "Mukanya sudah terbuka lagi," katanya.

Hanifa sering bertanya tentang teman-temannya. "Takara sedang apa ya," katanya tiba-tiba. Kemudian dia mengarang cerita tentang segala kemungkinan untuk jawaban itu. Mungkin dia sedang mandi, mungkin dia sedang makan dengan Mardiyah. Dia campuradukkan kemungkinan itu dengan semua teman-temannya yang lain. Mungkin Mushab sedang nonton tivi dengan ibunya. Dia suka juga acara Nainai-Ba seperti Ifa. Mungkin Takara sedang main bola dengan ayahnya. dst.

Dia sedang memegang sebuah mainannya. Dia bilang mainan itu nanti boleh dipinjam teman-teman di pengajian ibu. "Mungkin nanti Mushab yang pinjam neko-chan ini," katanya.

Coba menasihati Hanifa, suatu hari dia menasihati kita dengan ucapan yang persis. "Jangan lari-lari di dalam rumah ibu," katanya. Atau, "Coba begini jalannya," dia berkata sambil jalan pelan-pelan, "nggak ada bunyinya kan." Dia seperti mesin fotokopi.
Pagi ini Hanifa sibuk menelepon penguin, janjian bertemu di kandang kuda katanya. Dia serius sekali dengan percakapan teleponnya itu. Setiap kalimat diucapkannya dengan penekanan dan intonasi yang tepat seolah-olah ada yang benar-benar menyahutinya di ujung sana. Dia berimajinasi bebas dalam percakapan itu, menggunakan seluruh kosakata yang dimilikinya, bahkan kadang saya mendengar dia mengeluarkan kata yang jarang atau baru pertama dia ucapkan. Pagi ini dia menggunakan kata "bahasa" dalam percakapan telepon imajinernya.

Sudah saatnya saya mesti menambahi sedikit-sedikit kepercayaan saya pada kemampuan Hanifa untuk mandiri. Berjalan pulang dari pengajian hari ini, beberapa kali tali sepatunya lepas. Dia berhenti untuk memperbaikinya. Saya mengulurkan tangan untuk membantu, tapi ditepisnya. Duduk di peron menunggu kereta, saya angkat dia ke kursi plastik. Dia turun lagi dan kemudian naik sendiri, seolah-olah duduk yang tadi tidak sah, harus dilakukan sendiri. Tiba di stasiun Kokubunji, dia masih mengantuk --sempat tertidur di jalan--. Saya gendong dia keluar gerbong. Dia lantas membuka mata dan minta jalan sendiri walaupun masih terkantuk-kantuk.

Makin hari dia makin ingin menegaskan kemandiriannya. Bukankah sudah sejak beberapa bulan ini dia tidak lagi mau dibantu memasang kancing sebelum dia benar-benar mencoba dan gagal? Atau memasang sepatu, kaos kaki, topi, puzzle, atau kaset dan CD di tempatnya. Saya sudah boleh sedikit menepi dalam penanganan urusan-urusan kesehariannya.

Ini hanya tahap pertama dia ingin melepaskan dari orangtuanya. Masih sebatas hal-hal fisik. Seiring pertambahan usia dia akan minta lebih banyak lagi keluangan pribadi. Sekarang dia sudah mendesak untuk memilih pakaian sendiri, memilih cara makan sendiri, memilih pakai sepatu yang mana, memilih akan pergi ke mana hari ini. Nanti dia akan mendesak untuk dibiarkan memilih sekolah sendiri, memilih cara berpakaian, cara belajar, teman, bahkan jalan hidup dan cara beragamanya sendiri. Nanti tiba saatnya saya hanya bertugas untuk ada baginya saat dia butuh telinga untuk mendengar dan tangan untuk merangkul, saat dia butuh kawan bicara untuk melegakan dadanya dari tumpukan kesal dan kecewa. Sebelum sampai di sana saya perlu menumbuhkan kedekatan dan kepercayaannya pada orangtua sebagai teman yang akan mengiringinya melangkah masuk ke dunia yang serbaneka ini.
Hanifa tidak suka hari hujan, karena hujan sering jadi alasan saya untuk tidak membawanya keluar. "Sudah tidak hujan lagi ibu," katanya pagi ini. Seharian kemarin kami terkurung di rumah karena hujan. Dia hanya bisa bermain puzzle, bikin mosaik, main lempar bola, dan main komputer. Dia hanya berpura-pura main pasir dalam rumah dengan sekop pink barunya.

Hari ini saya bawa dia ke Kuriyama koen. Dia bermain di bak pasir dengan sekop baru itu. Ada beberapa anak lain yang biasa bermain di situ. Tapi begitu mendengar bahwa setelah dari sana kami akan pergi belanja, dia langsung tidak tertarik lagi main pasir di koen. "Kita belanja sekarang," katanya memaksa. Baru pukul sebelas. Kurang dari satu jam dia bermain di sana. Saya tanya kenapa dia suka diajak belanja. Dia tidak bisa memberi satu alasan pun, meski dipancing dengan pilihan jawaban, karena tempatnyakah, barang-barangnya, atau kereta dorongnya. Dia hanya senyum-senyum. Saya kira kalau saya yang ditanya begitu waktu seumur dia, saya juga tidak akan bisa menjelaskan.

Setelah dua hari berkenalan, Hanifa baru bisa menyusun sendiri sepenuhnya puzzle Micky yang enam puluh keping itu. Kategori usia empat tahun bisa dia kuasai di usia dua setengah tahun. Sekali lagi saya menduga, kebiasaanlah yang membuat dia bisa. Pengulangan yang membekas dalam benaknya. Bukan sebuah kelebihan yang mendasar, meskipun hanifa memperlihatkan kemampuan konsentrasi dan ketenangan yang lebih dibanding teman seusianya. She is an easy girl.
Saya berencana membawa Hanifa bermain di Hoikuen hari ini. Sejak liburan musim semi saya tidak membawanya ke sana karena halaman bermain itu sedang diperbaiki. Ada pengumuman yang digantung di depan pagar bahwa anak luar tidak bisa bermain di sana. Halaman sekolah itu rupanya sedang ditanami rumput. Baru sebagiannya yang tertutup rumput. Bagian yang baru ditanami itu dibatasi dengan tali. Anak-anak hoikuen bermain di setengah halaman sisanya, yang masih belum ditanami rumput. Barangkali setelah rumput itu tumbuh, anak-anak baru boleh bermain di atasnya. Mungkin baru sekitar musim panas nanti Hanifa bisa main lagi di situ. Saya hanya bilang pada Hanifa bahwa hoikuennya sedang tutup.

Kami kemudian jalan ke nogawa dan duduk di bangku untuk makan biskuit oreo, bertegur sapa dengan seorang ibu yang menggiring anjing hitam besar. Tampaknya dia bukan orang Jepang, tapi sudah lama tinggal di sini. Dia bisa berbahasa melayu sedikit karena pernah tinggal di Malaysia bersama suaminya yang kerja di sana. Anjing hitam itu bernama Hana-chan, baru melahirkan delapan bayi dan sedang menyusui. Putingnya bergantungan di bawah perutnya.

Setelah itu saya bawa Hanifa ke Nagasakiya, membeli puzzle baru lagi. Kali ini puzzle Micky enam puluh keping. Ketika saya tanya apakah dia mau main bola di ruang ujung lantai tiga itu, dia menjawab dengan kalimat yang saya gunakan tadi, "Mungkin tempat mainnya sedang tutup." Saya merasakan ada keengganan Hanifa untuk bermain di tempat ramai bersama anak-anak yang tidak dikenalnya. Keengganan itu seperti mengalir dari tangan saya ke dia waktu saya berjalan bergandengan dengan dia melewati hoikuen tadi.
Setelah reda sebuah tangisan yang cukup lama dan berat, Hanifa menatap wajah saya lekat-lekat. Matanya terbuka lebar seperti baru melihat saya untuk pertama kali, seperti mencari-cari apa yang berbeda atau kaget bahwa saya ada di dekatnya. Tapi saya memilih untuk menduga bahwa dia ingin melihat dengan baik sosok yang begitu menenteramkan hatinya ketika dia sedang galau, yang ketika berada di dekatnya membuat dia merasa tenang dan aman, ehmmm.

Kadang-kadang Hanifa minta dipijit punggungnya. Ketika jari saya menyentuh punggungnya yang tipis, tulang-tulang yang terasa halus dan seperti rapuh, saya berpikir apakah nanti ketika dia sudah besar dan saya mulai tua, dia juga akan memijit punggung saya seperti ini. Apakah nanti dia akan tumbuh menjadi anak yang tetap dekat dan gembira bersama orangtuanya....
Saya membawa Hanifa ke Midori Center hari Sabtu. Dia duduk di samping saya dalam kelompok Nihongo yang baru. Saya khawatir dia akan bosan dan memaksa saya keluar kelas. Rupanya itu tidak terjadi. Dia bisa mencari pengalih perhatiannya sendiri dan mau menunggu. Saya beri dia kertas dan crayon, saya keluarkan tiga buku yang baru dipinjam dari perpustakaan. Untuk beberapa saat dia bisa mengarahkan perhatiannya pada keasyikan itu, tapi kemudian dia mulai melihat ke sekitar ruangan. Mencari-cari apa yang menarik. Saya biarkan dia turun dari kursi dan berjalan ke jendela. Dia berdiri melihat keluar, kemudia kembali lagi ke meja. Kobayashi-sensei datang ke meja saya, duduk dekat Hanifa dan mencoba mengajaknya bermain. Main gerakan tangan. Hanifa tertarik. Dia malah jadi mengejar-ngejar Kobayashi-sensei ketika kelas mulai berakhir dan Kobayashi-sensei mesti sibuk ke sana kemari.
Di halaman belakang tadi siang saya memperlihatkan eksperimen kecil pada Hanifa. Menggunakan seember air Hanifa melihat perbedaan perilaku batu dan daun di dalam air. Setiap kali dia memasukkan batu ke dalam air, batu itu langsung meluncur ke dasar ember. Dia terkejut, karena sebelumnya dia memasukkan daun ke dalam ember itu dan daun itu tetap ada di permukaan. Berkali-kali dia melakukan itu sambil saya menyebutkan apa yang terjadi. Dia tertarik dan mengulang-ulang eksperimen sederhana itu.

Memang bukan kali ini dia melihat fenomen itu. Dia suka mengapungkan daun-daun kering di sungai nogawa musim gugur yang lalu, tapi waktu itu saya tidak memberi komentar tentang apa yang terjadi dan tidak mengontraskannya dengan batu yang dia lempar ke dalam sungai. Saya tidak membantu dia melabeli kejadian itu. Hari ini saya sengaja mengajak dia melakukan itu lagi dan melihat perbedaannya. Dia jadi bisa membahasakan sendiri kejadian itu. "Kalau daun dipegang sama air, kalau batu langsung plung," katanya.
"Ini rumah kita," kata Hanifa tadi sore. Baru sekali ini saya mendengar pernyataan itu dari dia. Selesai mengerjakan puzzle Miffy, dia meluncurkan serangkaian pertanyaan di mana tinggalnya binatang-binatang yang ada di dalam gambar puzzle itu. Di mana tinggalnya si ular, si unta, sakana, lebah, ulat, wani, sapi, ayam, kambing, domba, macan, singa.
Tiga hari yang lalu saya membelikan puzzle baru untuk Hanifa. Puzzle hiragana dengan ilustrasi Miffy. Puzzle itu untuk anak lima tahun, begitu tertulis di petunjuknya. Tapi dalam dua hari hanifa sudah bisa mengerjakan puzzle 46 keping itu sendiri dari awal sampai akhir dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Terlalu cepat untuk usianya?

Hanifa mulai kecanduan main puzzle. Bayangkan, belum lima menit bangun tidur dia sudah minta main puzzle. Sepanjang hari bisa empat lima kali dia bongkar pasang ketiga puzzlenya. Sebelum tidur pun masih ingin main puzzle. Saya ingin tahu apa efek permainan ini pada kemampuan otaknya. Apakah dia berbakat jadi detektif yang kerjanya merangkai satu keping bukti menjadi rangkaian peristiwa yang mengungkap sebuah misteri. Atau jadi seniman kanvas lebar yang menggarap pekerjaan dari sepetak kecil hingga akhirnya meliputi seluruh permukaan yang luas. Atau peneliti yang mengumpulkan data-data hingga mendukung sebuah teori. Atau penulis yang menjalin keping-keping pikirannya dalam bahasa yang indah.

Saya juga mengamati perkembangan kemampuan berbahasanya. Dia mulai bisa menggunakan kata berawalan "ber-", seperti bergerak dan berbekas. Mengulang sebuah kata benda dua kali bukan untuk menyatakan banyak tapi untuk menekankan sesuatu, misalnya dia bilang, "saru itu makan wortel dengan kulit-kulitnya."
Saya harus menambahkan menyusun puzzle dalam daftar kegiatan yang menyerap konsentrasi Hanifa dalam waktu lama. Dia sudah bisa menyusun sendiri kedua puzzle mio yang 36 keping itu. Dia tidak lagi bertanya-tanya atau berteriak marah seperti minggu lalu. Dia sudah terbiasa dengan bentuk dan gambar puzzle itu, makanya dia bisa mengerjakannya sendiri dalam waktu kurang dari lima belas menit. Kegiatan itu bisa mengembangkan sel otak yang menangani persepsi spasial. Tapi setelah beberapa lama pengulangan hal yang sama tidak lagi menumbuhkan sel baru. Dia butuh tantangan baru.

Tiba-tiba saya menyadari betapa hari-hari saya bersama Hanifa di usianya saat ini jauh berbeda dari hari-hari ketika dia masih bayi di bawah satu tahun. Dulu saya tak pernah bisa punya keasyikan sendiri di saat jaganya. Saya harus selalu terlihat, dia harus jadi pusat perhatian saya setiap saat dia terjaga. Di luar atau di dalam rumah, sendiri atau bersama orang lain, saya seperti bagian dari tubuhnya sendiri.

Sekarang sedikit-sedikit dia sudah menampakkan kemampuan untuk lepas dari perhatian saya. Dia bisa punya keasyikan sendiri yang menyerap seluruh perhatiannya dalam rentang yang cukup panjang. Menggambar, bermain komputer, menggunting dan menempel kertas, main dengan boneka dan mainan, main pasir di koen atau berlari di lapangan. Dia bisa melakukan kegiatan itu sendiri selama lebih dari lima belas menit tanpa melibatkan saya. Jadi tidak bisa lagi saya menyebut tidak punya waktu luang untuk diri sendiri saat ini.
Mungkin Hanifa termasuk anak dengan kemampuan konsentrasi tinggi atau barangkali memang demikianlah tahap perkembangan yang normal dalam anak seusia dia. Dia bisa terserap total dalam sebuah keasyikan dalam waktu yang panjang. Saya menyebut lebih dari lima belas menit sebagai rentang yang cukup lama. Keasyikan itu antara lain berupa kegiatannya membuat mosaik, menggunting dan menempel kertas, membaca atau lebih tepatnya melihat buku, dan mendengar musik.

Sebagai ibu sering menyelinap dalam benak saya kekhawatiran tentang masa depannya. Dunia ini seperti penuh jebakan yang membahayakan. Apakah Hanifa nanti punya kepekaan yang cukup untuk membimbingnya memilih jalan yang baik. Apakah nanti dia akan menjadi orang yang bisa menghargai perbedaan dan berpikiran terbuka, hidup bersama orang yang bisa menerima keterbatasan dan membuka peluang untuk perkembangannya. Apakah dia akan masuk ke dalam lingkungan pergaulan yang positif. Kekhawatiran yang tidak perlu dan terlalu dini, memang. Tapi saya tidak ingin melupakan bahwa saya pernah merasakan kekhawatiran ini sejak awal.