Perang. Bukan perang di Aceh atau Irak. Saya sedang berperang dengan Hanifa, mendesakkan beberapa keteraturan dan ketertiban pada perilakunya. Dia masih suka membuang makanan yang sedang dikunyahnya ke lantai, main ludah dan menyemburkannya ke meja atau di mana saja. Dia masih menolak untuk menyimpan mainan sebelum tidur. Saya menuntut dia untuk menghentikan perilaku itu. Dia seperti menguji ketegasan saya dengan sikap keras kepalanya. Dia hanya senyum-senyum mendengar larangan saya, melihat ekspresi marah saya. Dia tahu perbuatan yang tidak saya sukai , tahu kalau itu dilarang dan tidak baik. Tapi sikap menolak seperti sudah alamiah saja pada diri kita --siapa pun-- ketika mendengar sebuah larangan. Sulit untuk betul-betul yakin bahwa dia akan ingat dan mau berubah setelah diperingatkan, setelah dia berjanji tidak akan mengulanginya. Meminta keterlibatannya untuk memperbaiki hasil perbuatan itu pun sungguh sulit. Dalam situasi seperti ini saya kadang tidak bisa mempertahankan sikap tegas. Padahal, sekali ditoleransi, dia akan mendapat kesan tentang kemungkinan untuk mendobrak pertahanan saya, kemungkinan untuk mencuri lagi kesempatan mengulang perbuatan yang sama, memetik lagi sebuah maaf. Dan, saya harus membangun lagi dari awal.

No comments: