Saya menemukan bahwa jalan kompromi itu terletak pada kesediaan saya untuk melayani dia terlebih dahulu dengan perhatian tak terbagi. Kalau saya menyambi bermain bersamanya dengan kebutuhan saya untuk menulis, membaca, tidur atau mengerjakan yang lain, saya bagaikan merentang panjang waktu yang dia tuntut untuk dirinya. Kalau saya memberikan apa yang dia butuhkan secara penuh, dia akan merasa puas dalam waktu yang lebih singkat. Saya tidak perlu mengeluarkan energi terlalu banyak untuk memperhatikan lebih dari satu hal sekaligus. Setelah dia merasa cukup, saya akan punya waktu yang lebih banyak untuk diri sendiri. Building trust and security first.
Anak usia batita sebenarnya belum mengerti arti kemarahan. Orangtuanya bisa saja menghabiskan sekian kalori tenaga, segulung topan badai bentakan, komat-kamit melampiaskan kemarahan dan sakit hati yang, jika tak cukup sabar, bisa melahirkan pukulan dan cubitan, tapi anak tetap bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa. Kemarahan, apalagi yang disertai pukulan, bukan cara yang baik untuk mengubah perilakunya. Dia tidak mengerti bahwa dia telah melakukan sebuah perbuatan yang membuat orangtuanya kesal. Dia tidak tahu apa yang membuat dia dibentak-bentak, apa yang membuat orangtuanya berubah menjadi seorang yang tidak dia kenali karena wajah yang dilihatnya tidak lagi memancarkan kasih sayang dan kepedulian seperti yang dia ketahui.

Saya pikir orangtua harus menjaga keseimbangan antara menoleransi dan menghukum untuk membuat anak mengerti tentang kesalahannya. Kalau orangtua tidak menunjukkan bahwa sebuah perbuatan adalah salah, tentu anak tidak akan tahu. Anak hanya akan bisa tahu dengan melihat respons orang-orang di sekitarnya. Dalam soal toilet training, misalnya. Setiap kali anak lupa dan kencing begitu saja di tempat dia sedang berada, apakah orangtua mesti diam saja dan membersihkan kencingnya tanpa berkomentar atau memarahi sambil menyebut kesalahan apa yang telah dia lakukan. Kalau orangtua hanya diam tentu anak jadi tidak tahu bahwa perbuatan itu salah. Tapi, apakah dengan sikap menoleransi anak akan mampu menyimpulkan sendiri tentang kesalahannya?

Saya pernah berniat untuk membagi cerita keberhasilan saya melatih anak kencing di toilet. Saya ingin bilang bahwa anak tertarik dengan variasi. Sesekali biarkan dia kencing di kamar mandi, di toilet dewasa, atau di toilet portable anak-anak. Variasikan juga letak bangku toiletnya itu, kadang-kadang di ruang tengah, di depan televisi, di dekat rak bukunya, atau di dapur. Ciptakan situasi yang menarik, misalnya boneka-bonekanya ikut menyaksikan dia kencing. atau dia kencing setelah salah satu bonekanya kencing. Intinya adalah, jadikan keharusan baru itu sesuatu yang menarik dan variatif, seperti bagian dari sebuah permainan.

Semangat saya untuk berbagi pengalaman itu jadi luntur setelah mengalami tiga kegagalan berturut-turut hari ini. Itulah yang mendorong saya untuk bertanya soal toleransi atau hukuman. Pada batasan mana orang bisa menyeberang ke sisi yang lain?
*

Setiap siang saya melalui pergulatan yang sama dengan Hanifa. saya ingin beristirahat, dia ingin bermain. Dua keinginan ini sebenarnya bisa saja tidak bertentangan kalau saja Hanifa tidak menuntut saya terlibat dalam permainannya. Setiap kali saya mulai membaringkan badan dengan mata mengantuk, dia akan berteriak merengek menyuruh saya bangun dan bermain bersama. Kesabaran saya bisa jadi sangat pendek di saat seperti itu, ditambah lagi udara yang panas di bulan ini. Kepala saya jadi makin pusing. Kekesalan saya bertambah kalau dia menghendaki saya melakukan sesuatu yang harus sesuai dengan cara yang diinginkannya. Dia seringkali tidak memberi toleransi untuk cara yang berbeda. Saya mencari cara yang mudah bagi saya, bermain boneka sambil tiduran, mengambil mainan yang terdekat dengan saya atau membacakan buku sambil menutup mata karena saya sudah hapal isi cerita yang berulang-ulang dia minta dibacakan.

Sesekali saya berhasil mencuri lelap dalam waktu singkat. Setengah jam yang nyenyak sudah sangat mewah. Itu sudah cukup untuk kembali menyegarkan badan. Kadang dia ikut tertidur dalam waktu itu, kadang dia bersedia main sendirian. Tidak jarang saya akhirnya harus melewatkan masa letih itu sambil menemani dia bermain dan ketika dia mulai tertidur saya yang justru sudah jadi segar dan kehilangan ketertarikan untuk istirahat siang.

Mestinya ada cara kompromi yang baik untuk melewatkan waktu siang yang panjang ini.
Entah bagaimana hanifa menggilir musim bermainnya. Kini saya mendapati dia tidak lagi bermain belanja-belanjaan sepanjang hari, tapi berganti dengan main peran dengan bonekanya, mengumpulkan mereka di sebuah tempat, membayangkan mereka sedang naik kereta api, memancing di sungai atau menghadiri pesta ulangtahun salah satu boneka.

Kotak kardus yang tadinya dipakai sebagai keranjang belanjanya sekarang berubah fungsi menjadi tempat tidur boneka di waktu malam atau menjadi keranjang bayi untuk kewpie dan pooh. Bangun tidur tidak lagi diawali dengan menyiapkan mesin kasir di atas pemanas atau memunguti barang belanjaan ke dalam kantong plastik, tapi membangunkan boneka-boneka dan menjejerkan mereka di atas kereta dan menyusun balok untuk dijadikan rumah atau kandangnya.

Dia melakukan itu semua dengan keseriusan yang sangat teliti. Sedikit menyimpang dari apa yang dia rencanakan--topi bonekanya tersenggol kaki saya atau ayahnya saat melangkah melewati barisan penumpang kereta itu di lantai, dia bisa marah besar. Semua harus seperti yang dia rancangkan.

Kata Nietszche, kalau orang dewasa bisa menyamai keseriusan anak-anak dalam bermain, dia bisa meraih bahagia.
Hanifa tidak butuh pampers lagi kecuali di waktu tidur. Dia sudah bisa mengontrol otot saluran kencingnya, menjaga agar desakan kencingnya baru bobol setelah tiba di toilet. Dalam masa latihan sebulan ini beberapa kali terjadi kebocoran. Saya terpaksa menjemur bantalan kursi, menggosok karpet dan kasur yang dibasahi kencingnya kalau dia sedang lupa. Biasanya dia jadi lupa kalau sedang asyik bermain atau sedang ingin menolak apa pun permintaan saya.