Pagi adalah waktu yang sibuk, padat kegiatan. Tentu demikianlah yang terjadi di semua rumah, apalagi kalau ada anak-anak yang mesti berangkat sekolah dan orangtua yang berangkat kerja. Sarapan, membereskan tempat tidur, mandi, kadang juga mencuci dan mempersiapkan makanan hari itu, semua dilakukan dalam jangka satu dua jam sebelum berangkat.

Hanifa punya kebiasaan sarapan dua kali setiap pagi. Pertama setelah bangun tidur: sarapan ringan roti-bermentega-tidak-dipanggang-pinggirnya-dilepas, atau cereal atau bubur gandum, plus teh. Dia jarang bisa menghabiskan porsi yang disediakan. Satu lembar roti pun terlalu banyak. Setelah mandi dia biasanya sarapan lagi: nasi. Biasanya kegiatan Hanifa di waktu pagi ini dilakukan sambil menonton acara anak-anak di televisi NHK yang mengambil slot waktu sekitar pukul 7:30 hingga 9:00.

Kalau sedang menonton itu maka mengajak Hanifa mandi atau sarapan akan jadi sulit dan membosankan karena matanya terpaku ke televisi, telinganya seperti tersumbat. Perlu usaha ekstra untuk membuat dia mau beranjak dari depan televisi, perlu sedikit rayuan yang inovatif. "Ayo cepat mandi, jam sembilan kita mau ke perpustakaan,"  atau pergi ke koen, atau belanja, atau misalnya. Tidak jarang dia baru mau bergerak setelah acara selesai.
 
Tapi untungnya dia masih belum punya ingatan yang kuat tentang jadwal acara televisinya. Dua bulan belakangan ini acara nonton televisi pagi itu dihilangkan, agar seluruh kegiatan paginya bisa berjalan lebih lancar dan waktu menyelesaikannya jadi lebih singkat. Dan, pagi sekarang jadi terasa lebih panjang!


Hanifa sedang senang berdandan. Bangun tidur pagi dia sudah minta rambutnya disisir, diikat, dijepit dengan ikat rambut dan jepitan warna pink atau merah. Pakaian kesukaannya adalah yang berbunga-bunga dan yang berwarna pink. Entah dari mana dia mengambil contoh dalam soal ini. Pasti bukan dari saya karena saya bukan tipe yang terlalu mau repot dengan penampilan. Sedikit bercermin dan merapikan diri sebelum keluar rumah, menyisir rambut sehabis mandi dan mengenakan lotion dan pelembab kulit adalah yang paling jauh yang saya lakukan dalam soal ini. Apakah anak perempuan dengan sendirinya punya kecenderungan untuk suka berdandan? Kadang-kadang dia mengambil lipstik pelembab tanpa warna dan mengoleskannya sendiri di bibirnya. Berulang kali dalam sehari dia merasa perlu untuk mengaca dan merapikan lagi rambutnya, ujung rambutnya dia selipkan di belakang telinga, kemudian berkata, "Lihat,  cantik kan?" Huwaa!! Tak pernah dalam sejarah masa kecil saya, saya melakukan dan mengatakan itu (seingat saya).

Belajar Iqra'

Setiap pagi Hanifa punya kegiatan rutin belajar Iqra' bersama ayahnya. Akhir Maret lalu dia menyelesaikan Iqra' 2 dan hari ini dia tiba di halaman terakhir Iqra' 3. Sejak Rasyad lahir, saya nyaris tidak terlibat sama sekali dalam membimbing Hanifa belajar ngaji. Ayahnya yang melakukan itu dengan kontinuitas yang lebih terjaga.

Awalnya hadiah-hadiah kecil dari ayahnya itu sebagai pendorong dia untuk mau membaca satu halaman Iqra'. Hadiah yang jadi pemancing buat dia itu diberikan sebelum atau sesudah dia belajar mengaji. Hampir dua bulan berjalan begitu, lama kelamaan greget hadiah itu makin berkurang. Dia pernah tetap menolak belajar meskipun dijanjikan atau sudah diberi hadiah. Suatu hari akhirnya dia bilang pada ayahnya, "Hanifa nggak usah dikasih hadiah lagi." Sejak itu dia mau belajar ngaji meski tidak ada hadiah.

Ketika masuk ke Iqra' 3, Mas Budi menggunakan cara bercerita untuk mengenalkan pembacaan huruf hijaiyah berbaris bawah dan sukun. Nama tokoh-tokoh dalam cerita itu diambil dari bunyi huruf, jadi ada si Bi, Ri, dan Ki, yang janjian ketemu di sungai bersama si Bu, Ru, dan Ku, misalnya. Cerita ini membuat Hanifa mudah mengenali cara baca yang baru dikenalkan di Iqra' 3. Suatu siang ketika kami berjalan di pinggir Nogawa, Hanifa nyeletuk, "Di sini tempat mainnya si Bi dan si Ri," katanya. Dalam pembacaannya Hanifa ssering keliru membedakan huruf ba dengan ja, dan huruf na dengan dza.

Belajar mengaji biasanya merupakan salah satu pengalaman masa kecil yang melekat kuat dalam ingatan. Saya masih ingat bagaimana saya dulu dibimbing belajar ngaji oleh ibu saya, mengulang-ulang pelajaran sampai bosan di meja makan dan dimarahi ayah karena malas-malasan. Saya masih ingat pawai khatam Al-Quran yang saya ikuti sepanjang jalan utama di depan masjid. Hanifa nanti akan punya memori tentang belajar mengaji di pangkuan ayahnya setiap pagi, sehabis mandi sebelum ayahnya berangkat ke lab.

Fans baru

Hanifa sekarang punya fans berat. Seorang penggemar yang suka memperhatikannya dengan binar mata takjub, terheran-heran kagum, dengan senyum yang selalu siap melebar jadi tawa. Dan Hanifa menjadi sangat senang. Setiap kali Rasyad tertawa melihat tingkahnya, Hanifa jadi makin bersemangat menunjukkan bermacam atraksi, melompat, berjungkir balik, menari untuk memancing lagi gelak tawa adiknya. Kalau Rasyad sudah saya letakkan di kursi tingginya, maka lantai dapur akan menjadi panggung Hanifa bernyanyi dan menari, sementara Rasyad duduk menontonnya kegirangan, seperti sedang menyaksikan pertunjukan paling hebat di dunia--barangkali memang demikian bagi dunia seorang bayi tiga bulan.

Perkembangan ini sangat membantu melunakkan kecemburuan Hanifa pada adiknya. Dia mulai menganggap Rasyad sebagai teman bermain, meskipun untuk berbagi mainan dia masih penuh perhitungan. Oke, mainan berwarna merah untuk Hanifa, yang biru untuk Rasyad. Tapi begitu Rasyad mulai pegang mainan yang biru, Hanifa jadi pengin mainan biru juga. O-oh. Yah, adik kecil yang masih belum bisa protes itu terpaksa dibuat mengalah dulu untuk kakaknya.

Terbang ke bulan

Bulan nyaris purnama di langit malam ini. Hanifa mengintipnya dari balik jendela. Awan hitam tipis menutup sebagian wajah bulan. Hanifa bergegas lari ke arah saya, yang sedang menimang Rasyad sambil bersenandung kecil untuk menidurkannya. Dia berbisik, "Hanifa ingin ke bulan itu."

Permintaan semacam ini sering direngekkan Hanifa kalau sudah mulai mengantuk. Variannya yang lain adalah "ingin belajar terbang" atau "ingin tidur di awan." Saya tidak pasti apakah dia tahu bahwa itu mustahil dipenuhi, dia memintanya dengan nada yang sama seperti saat dia meminta dibuatkan teh atau dibacakan buku. Tapi mungkin dia tahu itu karena dia memintanya diiringi wajah sedih. Biasanya begitu melihat saya terdiam sejenak setelah mendengar permintaan itu, dia akan menangis dan mengulangi rengekannya di tengah suara tangisnya.

Saya sudah belajar dari pengalaman terdahulu bahwa permintaan semacam itu tidak bisa ditolak tegas dengan mengedepankan realitas atau logika. Dia akan jadi makin sedih. Air mata yang perlu dibendung akan semakin banyak dan dadanya jadi sesak, sulit bernapas dan dia akan terus terisak-isak. Harus dicarikan jawaban yang tak kalah imajinatif atau pengalih perhatian yang tidak mengabaikan permintaan itu sebagai omong kosong anak-anak saja.

Lantas berkhayallah kami bersama terbang menuju bulan dan bintang, melintasi awan dengan kedua tangan mengacung ke depan seperti anpanman atau superman atau batman lagi terbang, atau kedua tangan berayun di kiri dan kanan seperti sayap burung. Kami bertemu dengan pesawat terbang yang sedang menembus hamparan awan putih. Sampai akhirnya kami tiba di bulan dan tidak menemukan apa-apa di sana kecuali kelinci-kelinci yang melompat ke sana ke mari. Tidak ada pohon, tidak ada air atau orang-orang lain sehingga kami harus cepat-cepat kembali ke bumi.

Lantas bernyanyilah saya lagu 'Ambilkan bulan, bu.' dan Hanifa berkhayal bulan itu sudah sampai di pelukannya, yang kini dia taruh di samping bantalnya, dan bulan itu sedang tersenyum. Tapi dia masih belum mau tidur juga dan adiknya mulai menangis karena juga belum bisa tidur. Akhirnya pukul sembilan, ayah mereka pulang, Hanifa melupakan bulannya, kantuknya buyar, dan dia bergegas mempersiapkan episode bermain masak-masakan bersama ayahnya sampai kantuk gelombang kedua hinggap di matanya.