Gadis Kecil di Hari Minggu

Hari Minggu, ada seorang gadis kecil yang ingin madu.
Lalu, gadis itu segera ke hutan.

Gadis itu suka madu.
Dia juga ingin tahu, madu manakah yang paling enak.

Lalu waktu dia mau mengambil madu, apa yang terjadi?
Dia disengat oleh lebah madu.
Tolong teman-teman…. kata gadis itu

Vas yang Cantik

Suatu hari Kaila dan Laila pergi ke taman.
Lalu di taman, Laila menemukan fas yang cantik.

Hai, aku menemukan vas ini, seru Laila.

Lalu mereka berpikir bagaimana cara merawat vas itu.

Bagaimana kalau kita bikin hiasan saja, kata Laila. Bagaimana kalau kita kasih bunga saja, kata Laila. Bagaimana kalau kita kasih bunga saja. Iya.

Lalu mereka merawatnya dengan baik

Doa-Doa Hanifa

Ada dua doa yang biasa dibaca Hanifa sehabis shalat: doa untuk orangtua dan doa "rabbana atina..." (kata orang namanya doa sapujagat). Sejak umur tiga tahun dia sudah lancar membaca kedua doa ini, dan rutin membacakannya sesudah shalat. Tapi sejak ikut sekolah dia punya variasi tambahan. Yang pertama kali saya dengar dalam suara bisik-bisiknya adalah doa berikut:
"Ya Allah, sembuhkanlah teman-teman yang sakit." Barangkali doa ini yang diajarkan ibu guru di sekolahnya.
Kemudian waktu ada bencana tsunami di Aceh dia mengganti doa tambahan itu menjadi:
"Ya Allah, lindungilah anak-anak Aceh." Dua minggu lebih dia membaca doa ini.
Kemudian berganti lagi:
"Ya Allah, berilah ayah dan ibu rezeki yang banyak agar bisa membelikan apa-apa yang aku suka." Saya tersenyum ketika pertama mencuri dengar bisikan doa yang ini.
Dan terakhir dia berdoa: "Ya Allah, semoga ibu tidak pernah sakit setiap hari." Ceritanya dia kasihan sekali waktu saya mengeluh sakit sariawan. Terus dia bilang, Hanifa ingin ibu nggak pernah sakit. Saya bilang, kalau gitu Hanifa doakan supaya ibu tetap sehat ya. Dan lahirlah doa itu dalam bisikan sehabis shalatnya. Mengharukan.

Membaca Al-Quran

Ini sesuatu yang perlu dicatat. Hanifa sudah menyelesaikan buku Iqra dan sekarang mulai membaca Al-Quran. Hadiah ualng tahunnya yang keempat adalah sbeuah Al-Quran besar bersampul emas. Senang sekali dia punya Al-Quran sendiri.

Bisa membaca Al-Quran pada umur empat tahun saya kira adalah sebuah prestasi. Memang, bukan kecepatan meraih kemampuan itu yang penting, tapi konsistensi, keberlanjutan, karena mengaji bukan soal bisa atau tidak saja, tapi soal menumbuhkan kebiasaan setelah bisa.

Ketika dia pertama kali membaca surat Al-Fatihah lengkap di Al-Quran, dia tidak bisa menahan senyum tersipu. Mungkin dia merasa aneh menemukan tulisan dari apa yang selama ini hanya dibaca dan dihapalnya di luar kepala. Selanjutnya dia mengaji setengah halaman setiap hari. Jadwalnya diusahakan tetap sekitar pukul delapan setelah mandi pagi.

Menyanyi

Gurunya bilang Hanifa menitikkan air mata ketika mereka di kelas menyanyikan lagu yang berirama agak sendu. Saya sering kali harus memilihkan lagu dengan kata-kata yang gembira dan melapangkan hati ketika akan menidurkannya. Kalau tidak lagu itu hanya akan membuat dia makin menangis dan sulit ditidurkan. Lagu-lagu pengantar tidur itu bukan lagu umum, tapi lagu dengan irama dan kata-kata yang saya karang sendiri. Yang paling disukainya adalah senandung yang berisi pesan positif tentang dirinya,Hanifa anak yang baik, anak yang pintar, senang mengaji, senang belajar, senang membantu ibunya, dst.

Kadang-kadang Hanifa begitu penuh keluh kesah. Seperti hari-hari ini, karena di mulutnya sedang ada sariawan. Keluhannya begitu ribut seolah-olah dia sedang ditimpa luka parah. Yah, itu harus dimaklumi sebagai sebentuk caranya untuk menarik perhatian. Sekecil apa pun kesempatan itu, akan dia gunakan sebaik-baiknya.

Bersekolah di Padang

Dua sepupu Hanifa di Padang bersekolah di TK dekat rumah. Hanifa diikutkan. Ini awal fase kehidupan yang baru. Hanifa diperkenalkan dengan ritme keseharian yang baru. Sekolah dimulai pukul delapan, lima menit sebelumnya ada sedikit gerak badan sebelum masuk kelas. Dia mesti berangkat sekolah setidaknya lima belas menit sebelum waktu itu. Sekolahnya berjarak tempuh sepuluh menit berjalan kaki dari rumah. Pukul 7:40 adalah waktu ideal untuk berangkat.

Persiapan pagi harinya mencakup sarapan, mandi, sikat gigi, berpakaian, mengaji, dan kadang-kadang makan pagi lagi setelah mandi, kemudian bersepatu dan berangkat. Dia mesti bangun paling lambat pukul 6:30 untuk bisa melakukan semua itu tanpa tergesa-gesa. Rizki dan Ilham biasanya baru berangkat pukul 8:00, diantar Mamanya Ilham dengan mobil. Sudah dua hari ini Hanifa berangkat duluan dengan berjalan kaki. Biarlah dia berbeda.

Sejak sekarang pengaruh lingkungan akan banyak masuk ke dalam dirinya. Besar kemungkinan sebagian di antaranya bertentangan dengan apa yang kami inginkan. Setiap orang dalam kelompok usia sebaya biasanya takut untuk menjadi berbeda. Dia ingin tetap bermain bersama teman-teman ketika waktu shalat tiba, misalnya. Atau, sulit diminta berhenti ikut dalam permainan yang terlalu mengganggu ketenangan di dalam rumah.

Bagaimana caranya agar dia dengan spontan bekecenderungan untuk berperilaku baik, misalnya tidak berteriak saat berbicara, meminta dengan sopan, tidak memukul, berterima kasih dan meminta maaf, mau menghabiskan makanan, shalat ketika waktunya tiba, belajar mengaji setiap hari. Kemauan itu bisa luntur dan terlupa kalau tidak terus dijaga dan diingatkan kepadanya. Belum lagi pengaruh televisi dengan tayangan bermuatan kekerasan yang terlalu banyak, yang sering memperdengarkan kata-kata kasar, dengan alur cerita yang tidak masuk akal dan iklan impian duniawi yang terlalu menggoda.

Meski tidak menontonnya langsung, dia melihat bagaimana yang lain menonton televisi sambil melakukan persiapan berangkat ke sekolah, menonton televisi sambil makan, atau televisi yang dibiarkan terus menyala tanpa ditonton. Televisi bisa-bisa menyerap terlalu banyak waktu dan energi. Waktu yang dihabiskan di depan layar televisi lebih baik digunakan untuk melakukan kegiatan lain yang mendekatkan dengan alam, atau kegiatan bermain yang memungkinkan anak belajar bekerja sama, bergiliran, mengantri, bernegosiasi, merasakan sakitnya jatuh, merasakan sakitnya dikecewakan teman---keterampilan sosial yang mempersiapkan dia jadi orang dewasa yang kompeten. Satu sampai dua jam sehari untuk tayangan yang dipilihkan dengan cermat, yang ditonton sambil ditemani orang dewasa yang menjelaskan isi tayangan, begitulah idealnya televisi untuk anak-anak seusia dia.

Sekolahnya bubar pada pukul 11:00 untuk Senin-Kamis. Sejak hari pertamanya, Hanifa selalu diantar dan ditunggui oleh ayahnya. Sampai sekarang saya belum pernah ke sekolah Hanifa, hanya melihat foto yang dijepret ayahnya kemarin, karena saya menjagai Rasyad di rumah. Sesekali nanti saya ingin ikut mengantar dia ke sekolah. Pulang sekolah Hanifa makan siang, kemudian bermain lagi di rumah sampai sore. Dia jarang tidur siang. Menjelang maghrib dia kelihatan sudah capek. Hari yang terus-terusan panas di Padang menguras energi lebih besar. Setelah mandi sore dan makan malam, dia tidur. Kemarin dia tertidur tanpa sempat shalat maghrib berjamaah dan mengaji lagi. Begitulah ritme kesehariannya yang baru.

Dari Tokyo ke Padang

Tiba di padang. Ketika mendarat di Tabing, disambut oleh keramaian yang tidak biasa, Hanifa agak kaget, tapi kelihatannya tidak stress. Dalam beberapa pekan sebelum berangkat, dia berhasil dibuat cukup gembira dengan prospek kepulangan ke Indonesia ini. Kepadanya sering dikatakan bahwa di Padang nanti dia akan bersekolah dan bisa bertemu dengan saudara-saudara sepupu sebaya dia yang selama ini hanya dia ketahui namanya atau dengar suaranya lewat telepon.

Hari pertama dia langsung bisa bermain bersama Ilham, Rizki dan Ihsan, berkejar-kejaran, menggambar, bermain origami. Walaupun masih capek dari perjalanan panjang Tokyo-Kota Kinabalu-Kuala Lumpur-Padang, dia sulit diminta berhenti untuk beristirahat sepanjang siang itu, malah menolak untuk masuk kamar, karena ingin terus bergabung dengan teman-teman yang ribut bermain di luar.

Syukurlah dia terus bisa gembira, tidak merasa kehilangan suasana Tokyo dengan Koganei Koen dan taman-taman bermain yang biasa dia kunjungi, klub bermain di Hokenjo yang nyaman, kolam bola Nagasakiya yang mengasyikkan. Entah apakah setelah dewasa nanti dia masih bisa mengembalikan ingatannya pada kenangan hidup masa kecilnya di Tokyo.

Pagi ini dia berangkat ke sekolah bersama.
Kadang-kadang Hanifa seperti sebuah mesin kata-kata. Dia berjalan ke sana ke mari sambil berbisik-bisik, mengulangi lirik sebuah lagu, penggalan percakapan yang dia dengar, istilah baru yang melintas di kepalanya. "Ingat-ingat pesan Mama," katanya tiba-tiba suatu kali, tidak ada hubungannya dengan apa yang sedang dia lakukan atau apa yang sedang kami bicarakan. Rupanya dia mendengar kalimat itu diucapkan Andy dua hari sebelumnya ketika sedang menulis email pesan Umak ke Teta di Padang dengan subjek seperti itu. "Dua anaknya meninggal," katanya dalam sebuah cerita bonekanya, itu penggalan yang dia tangkap dari cerita Uci tentang seorang saudara sepupu saya di Rimo kemarin.

Dia sering mencoba menggunakan kata berulang-ulang dalam kalimatnya, terutama sebuah kata baru yang dia tangkap dari percakapan orang dewasa di sekitarnya. Beberapa hari yang lalu kata baru tersebut adalah "belakangan." Dia mencoba membuat kalimat dengan menggunakan kata itu, tapi dia memasangkannya dengan kata "depanan." Jadi suatu kali dia bilang: "Bu, kita mancing yuk," katanya sambil memegang sebatang sumpit. Kami lagi duduk di kasur lipat. "Ibu belakangan, Ifa depanan," dia lantas duduk di depan saya. Saya tidak langsung mengoreksinya. Hanya menyimpan geli saya sendiri. Setelah beberapa hari dengan pengertian yang salah itu akhirnya dia menangkap sendiri kekeliruannya. Sekarang dia sudah memasangkan kata "belakangan" dengan "duluan."

Hari ini saya mendapat proyek pembuatan rumah boneka dari kardus. Hanifa membuat bonekanya dari sisa kardus. Dia sudah tidak sabar. Dia mainkan boneka itu dengan ruangan rumah boneka yang masih belum berpintu. Kata-kata meluncur terus dari mulutnya sepanjang permainannya. Proyek itu rupanya membuat khayalnya bersayap. Rupanya, yang dibutuhkan anak-anak ketika bermain bukan hanya benda-benda. Tapi juga kata-kata.




Menggambar lagi

Asyik benar kalau Hanifa sedang menggambar. Dalam gambarnya dunia bisa jadi sangat ajaib. Mataharinya ada dua, dia bilang. Pohonnya tumbuh sampai ke langit dan di samping pohon itu ada temannya si pohon: es krim sebesar pohon. Di dalam rumahnya ada ikan paus berbaju putih yang tinggal di dalam lampu.

Tapi beberapa pekan belakangan ini dia hanya menggambar orang. Gambar orangnya bukan lagi bundaran yang berkaki dan bertangan itu. Sekarang dia sudah menambahi badan di bawah bundaran kepala. Tangan dan kaki melekat di badan itu---gambar orang yang secara anatomis sudah benar.

Pertama-tama di atas selembar kertas kosong itu dia akan menggambar satu sosok anak perempuan, berukuran besar, memenuhi hampir semua kertas itu. Ini onechan, katanya. Setelah satu gambar itu selesai, sesuai dengan ceritanya, dia akan menambahi gambar adik laki-laki di sampingnya, kecil. Atau, gambar teman-teman perempuan di samping kanan dan kirinya, kecil. Atau, gambar ibu yang ikut pergi bersamanya, kecil.