Belakangan ini terlalu sering saya mencatatkan keluhan tentang Hanifa di blog ini. Tidak adil kalau saya tidak mencatat pula momen ketika dia mencengangkan saya dengan sikap baik dan lemah lembutnya. Itu terjadi ketika saya sakit demam lagi karena mastitis hari ini.

Siang ini saya terpaksa hanya terbaring di tempat tidur karena panas badan saya mencapai 38,9 derajat. Penyebabnya adalah mastitis, persis seperti yang saya alami dua minggu setelah kelahiran Rasyad. Saya jadi tidak bisa menemani Hanifa bermain, atau membantu dia mengambilkan apa-apa yang dibutuhkannya.

Saya memperkirakan Hanifa akan jadi senewen dan marah-marah menghadapi keadaan itu, seperti hari-hari biasa. Tapi rupanya dugaan saya meleset. Dengan keajaiban yang entah datang dari mana, dia jadi anak yang sangat berbeda dari biasanya. Dia bilang pada saya, "Ibu istirahat di tempat tidur saja ya, Hanifa mau main sendiri."

Kemudian dia keluarkan balok-balok dari lemari. Dia main balok-balok itu sendiri, membuat kota-kotaan seperti yang kami bikin bersama kemarin sore. Salah satu rancangan baloknya dia bawa kepada saya. "Ini hadiah untuk ibu," katanya. Setelah bosan main balok, dia keluarkan beberapa puzzle dan dia main puzzle sendiri. Selama dia bermain beberapa kali say mencoba bangkit untuk memperhatikan, tapi dia menyahuti dengan perkataan seperti tadi, "Ibu istirahat aja ya."

Hati saya merasa hangat dengan ucapan-ucapannya itu. Justru dengan perkataannya itu saya jadi makin ingin menemani dia, ingin melakukan sesuatu untuk dia meskipun harus bersusah payah. Saya terharu, dia ternyata seorang anak yang lembut hati dan mampu berempati ketika berhadapan dengan penderitaan orang lain.
Kreativitas Hanifa lagi meningkat dalam pekan-pekan ini. Hampir tiap hari dia menempelkan karya baru di dinding, gambar atau mosaik potongan kertas origami. Kalau Hanifa menggambar, berarti dia juga mengarang cerita, karena sambil menggambar atau sesudahnya dia menceritakan apa yang digambarnya.

"Ini gambar hanifa sedang pergi ke sekolah, pakai sepatu merah dan kerudung warna-warni," katanya sambil mencoretkan krayon. "Harinya cerah, ini mataharinya, tapi ada awan dan berangin." "Rasyad sedang di rumah sama ibu," katanya sambil menggambar rumah dalam proporsi yang lebih kecil dibanding dia. Semua yang lain memang selalu digambarkan dengan proporsi yang lebih kecil daripada dia sebagai pusat cerita.

Gambar yang dibuat Hanifa biasanya terdiri atas orang, rumah, matahari, angin (ya, dia juga menggambar angin yang tidak kelihatan di mata dengan coretan krayon yang sama tajamnya dengan benda-benda yang terlihat), rumput, burung-burung dan air. Gambar orangnya masih berupa lingkaran kepala yang bertangan dan berkaki, tanpa badan. Tampaknya kemiripan dengan objek yang digambar sama sekali bukan sesuatu yang penting buat dia. Menggambar bagi dia saat ini sepertinya hanyalah untuk mengeksplorasi kemampuannya menarik garis. Dia juga menggambar dengan cat air, menggunakan jari atau cottonbuds untuk mengulaskan warna. Dia juga menggambar di komputer. Apa pun hasilnya, dia tak pernah kecewa dan malu. Tidak pernah menyebut gambarnya jelek. Semuanya layak dipamerkan dan dipajang di dinding. Dia pun menerima apresiasi kita dengan senang.

Mencipta tampaknya tidak pernah menjadi kesulitan besar buat anak-anak. Mereka murni kreatif. Tidak mengarahkan ciptaannya menurut konsep tertentu yang sudah ada dalam kepalanya. Membiarkan semua yang ada di dalam dirinya hadir saat ini, tanpa takut-takut. Ke mana perginya energi kreatif yang hebat itu ketika mereka beranjak dewasa?

Saya curiga ini ada kaitannya dengan harapan akan pujian dan hukuman, kebiasaan yang sudah ditanamkan semasa bersekolah. Pujian hanya diberikan kepada karya-karya yang bagus, sedangkan karya yang dinilai jelek akan mendapat tanggapan yang menciutkan hati dan mematahkan semangat untuk mencoba lagi.

Anak-anak yang masih belum mengalami masa "penciutan kreativitas" itu berani berkreasi dengan bebas, menunjukkan hasilnya tanpa ragu, dan menunggu tanggapan positif untuk setiap hasil karyanya. Pujian apa pun yang kita berikan akan membuat dia senang. Dia tidak akan menolaknya dengan mengatakan karyanya tidak sebagus bikinan si itu atau si ini. Dia tidak membandingkan. Cara dia menerima pujian pun tampak sangat percaya diri, tidak malu-malu dan tidak merasa tidak pantas untuk dipuji. Saya ingin menjaga kreativitas kanak-kanak Hanifa agar terus terbawa hingga dewasa.

Tampaknya saya keliru mengatakan bahwa badai amuk Hanifa sudah reda. Mungkin itu hanya angan-angan saya saja, harapan yang terlalu besar untuk disampirkan pada Hanifa. Dia tetap ingin mendominasi seluruh perhatian hanya untuk dia, masih belum siap berbagi, dan barangkali takkan pernah siap untuk itu.

Tadi malam angin ribut itu bertiup lagi. Kecemburuan Hanifa menyala hebat, dia benar-benar bikin pusing. Dia minta gendong pada saat Rasyad perlu menyusu, dia tidak mau membiarkan saya menggendong adiknya yang sedang menangis. Dia meledakkan tangisan yang sulit dihentikan. Kita tidak bisa tahu apa yang dapat meredakan tangisannya pada saat itu, karena semua yang kita lakukan tampak salah di matanya. Barangkali yang diinginkannya adalah penelantaran adiknya secara terang-terangan.

Memang kadang-kadang dia bisa bersikap sangat baik pada adiknya. Dia sesekali menunjukkan sikap ingin melindungi dan sangat peduli. Kalau saya terpaksa shalat sambil menggendong Rasyad, dia berpesan, "Rasyadnya jangan sampai jatuh ya, ibu." Kalau salah satu kaos kaki atau sarung tangan Rasyad terlepas, dia akan buru-buru mencarikannya dan memasangkannya kembali. Setelah Rasyad selesai menyusu, dia sering bertanya untuk memastikan apakah sendawanya sudah keluar. Dia mau dimintai tolong mengambilkan pampers atau barang ini-itu untuk keperluan adiknya. Belakangan dia mendesak ikut membantu mengganti pampers Rasyad dan menggendongnya.

Tapi di lain waktu dia bisa berubah 180 derajat, tidak suka dengan kehadiran adiknya, tidak rela jika adiknya diberi sedikit perhatian. Dia menghentikan kegiatan yang sedang asyik dilakukannya kemudian menangis dan minta gendong persis pada saat adiknya mulai menangis dan perlu disusui. Dia memunculkan macam-macam permintaan yang sulit dipenuhi dalam keadaan terdesak, tapi keinginannya itu tidak bisa ditunda, perbuatannya tidak bisa dialihkan.

Ledakan tangisnya pada saat itu bukan bikin iba, tapi justru terasa repulsive. Semakin dia mendesak, semakin dia memancing rasa ingin menolak. Sungguh butuh kesabaran yang berlimpah ruah dalam menghadapinya. Saya harus berperang dengan ego sendiri untuk melayaninya, karena jika tidak cepat-cepat dilayani kemarahannya akan makin besar. Mas Budi bisa lebih sabar daripada saya dalam soal ini. Kesabarannya bikin saya ingin menangis. Mas Budi sepertinya selalu bisa menelan kemarahannya. Saya sekarang jadi bisa mengerti mengapa sampai terjadi banyak kasus child abuse. Kesabaran kita tidak selalu bisa tersedia dalam jumlah yang sepadan dengan yang dituntut oleh keadaan. Saya tidak ingin terpeleset ke sana, karena itu doa saya sekarang adalah agar Tuhan memberi saya limpahan energi baru dan kesabaran setiap hari.