Hanifa sepertinya masih memandang orangtuanya sebagai manusia serbabisa, yang bisa mengusahakan apa saja yang dimintanya. Tadi dia memetik sekuntum bunga dandellion (tanpopo) di jalan. Tanpa sadar tangannya mencabut bulu-bulu halus dan kelopak bunga itu sampai habis. Tiba-tiba dia menangis, ingin lagi bunga yang sama. Mudah saja, tinggal ambil di jalan kalau masih berada dekat-dekat bunga itu. Tapi jadi masalah kalau sudah sampai di rumah dan dia merengek minta bunga yang sama saat itu juga.
Dia melihat seekor kucing coklat melompat di pagar, kemudian kucing itu menghilang. Dia merengek, minta supaya peristiwa itu diulang. Dia ingin kucing itu melompat lagi persis seperti tadi. Sepanjang jalan dia menuntut itu, penjelasan apa pun yang saya berikan tidak bisa diterimanya, seakan-akan sebuah penolakan hanya karena saya malas atau tidak mau memberinya.
Masalahnya, dia tidak mudah lupa. Berjam-jam kemudian, ketika hari mulai malam dan sudah tidak mungkin lagi keluar untuk mengusahakan apa yang diinginkannya, dia masih ingat dan meminta barang atau peristiwa yang sama. Saya tidak selalu bisa bijak menghadapi ini, atau sekadar sabar dan mengalihkan perhatiannya. Kalau saya pun sedang capek, saya hanya diam dan membiarkannya menangis. Seperti menuntut dia untuk mengerti sebuah kemustahilan. Tampaknya dia masih belum tahu batas kemampuan orangtuanya. Masih belum tahu mana yang mungkin mana yang tidak mungkin. Baginya saat ini tidak ada yang tidak mungkin. Semua masih berada dalam relung kemungkinan.
No comments:
Post a Comment