Membaca Al-Quran

Ini sesuatu yang perlu dicatat. Hanifa sudah menyelesaikan buku Iqra dan sekarang mulai membaca Al-Quran. Hadiah ualng tahunnya yang keempat adalah sbeuah Al-Quran besar bersampul emas. Senang sekali dia punya Al-Quran sendiri.

Bisa membaca Al-Quran pada umur empat tahun saya kira adalah sebuah prestasi. Memang, bukan kecepatan meraih kemampuan itu yang penting, tapi konsistensi, keberlanjutan, karena mengaji bukan soal bisa atau tidak saja, tapi soal menumbuhkan kebiasaan setelah bisa.

Ketika dia pertama kali membaca surat Al-Fatihah lengkap di Al-Quran, dia tidak bisa menahan senyum tersipu. Mungkin dia merasa aneh menemukan tulisan dari apa yang selama ini hanya dibaca dan dihapalnya di luar kepala. Selanjutnya dia mengaji setengah halaman setiap hari. Jadwalnya diusahakan tetap sekitar pukul delapan setelah mandi pagi.

Menyanyi

Gurunya bilang Hanifa menitikkan air mata ketika mereka di kelas menyanyikan lagu yang berirama agak sendu. Saya sering kali harus memilihkan lagu dengan kata-kata yang gembira dan melapangkan hati ketika akan menidurkannya. Kalau tidak lagu itu hanya akan membuat dia makin menangis dan sulit ditidurkan. Lagu-lagu pengantar tidur itu bukan lagu umum, tapi lagu dengan irama dan kata-kata yang saya karang sendiri. Yang paling disukainya adalah senandung yang berisi pesan positif tentang dirinya,Hanifa anak yang baik, anak yang pintar, senang mengaji, senang belajar, senang membantu ibunya, dst.

Kadang-kadang Hanifa begitu penuh keluh kesah. Seperti hari-hari ini, karena di mulutnya sedang ada sariawan. Keluhannya begitu ribut seolah-olah dia sedang ditimpa luka parah. Yah, itu harus dimaklumi sebagai sebentuk caranya untuk menarik perhatian. Sekecil apa pun kesempatan itu, akan dia gunakan sebaik-baiknya.

Bersekolah di Padang

Dua sepupu Hanifa di Padang bersekolah di TK dekat rumah. Hanifa diikutkan. Ini awal fase kehidupan yang baru. Hanifa diperkenalkan dengan ritme keseharian yang baru. Sekolah dimulai pukul delapan, lima menit sebelumnya ada sedikit gerak badan sebelum masuk kelas. Dia mesti berangkat sekolah setidaknya lima belas menit sebelum waktu itu. Sekolahnya berjarak tempuh sepuluh menit berjalan kaki dari rumah. Pukul 7:40 adalah waktu ideal untuk berangkat.

Persiapan pagi harinya mencakup sarapan, mandi, sikat gigi, berpakaian, mengaji, dan kadang-kadang makan pagi lagi setelah mandi, kemudian bersepatu dan berangkat. Dia mesti bangun paling lambat pukul 6:30 untuk bisa melakukan semua itu tanpa tergesa-gesa. Rizki dan Ilham biasanya baru berangkat pukul 8:00, diantar Mamanya Ilham dengan mobil. Sudah dua hari ini Hanifa berangkat duluan dengan berjalan kaki. Biarlah dia berbeda.

Sejak sekarang pengaruh lingkungan akan banyak masuk ke dalam dirinya. Besar kemungkinan sebagian di antaranya bertentangan dengan apa yang kami inginkan. Setiap orang dalam kelompok usia sebaya biasanya takut untuk menjadi berbeda. Dia ingin tetap bermain bersama teman-teman ketika waktu shalat tiba, misalnya. Atau, sulit diminta berhenti ikut dalam permainan yang terlalu mengganggu ketenangan di dalam rumah.

Bagaimana caranya agar dia dengan spontan bekecenderungan untuk berperilaku baik, misalnya tidak berteriak saat berbicara, meminta dengan sopan, tidak memukul, berterima kasih dan meminta maaf, mau menghabiskan makanan, shalat ketika waktunya tiba, belajar mengaji setiap hari. Kemauan itu bisa luntur dan terlupa kalau tidak terus dijaga dan diingatkan kepadanya. Belum lagi pengaruh televisi dengan tayangan bermuatan kekerasan yang terlalu banyak, yang sering memperdengarkan kata-kata kasar, dengan alur cerita yang tidak masuk akal dan iklan impian duniawi yang terlalu menggoda.

Meski tidak menontonnya langsung, dia melihat bagaimana yang lain menonton televisi sambil melakukan persiapan berangkat ke sekolah, menonton televisi sambil makan, atau televisi yang dibiarkan terus menyala tanpa ditonton. Televisi bisa-bisa menyerap terlalu banyak waktu dan energi. Waktu yang dihabiskan di depan layar televisi lebih baik digunakan untuk melakukan kegiatan lain yang mendekatkan dengan alam, atau kegiatan bermain yang memungkinkan anak belajar bekerja sama, bergiliran, mengantri, bernegosiasi, merasakan sakitnya jatuh, merasakan sakitnya dikecewakan teman---keterampilan sosial yang mempersiapkan dia jadi orang dewasa yang kompeten. Satu sampai dua jam sehari untuk tayangan yang dipilihkan dengan cermat, yang ditonton sambil ditemani orang dewasa yang menjelaskan isi tayangan, begitulah idealnya televisi untuk anak-anak seusia dia.

Sekolahnya bubar pada pukul 11:00 untuk Senin-Kamis. Sejak hari pertamanya, Hanifa selalu diantar dan ditunggui oleh ayahnya. Sampai sekarang saya belum pernah ke sekolah Hanifa, hanya melihat foto yang dijepret ayahnya kemarin, karena saya menjagai Rasyad di rumah. Sesekali nanti saya ingin ikut mengantar dia ke sekolah. Pulang sekolah Hanifa makan siang, kemudian bermain lagi di rumah sampai sore. Dia jarang tidur siang. Menjelang maghrib dia kelihatan sudah capek. Hari yang terus-terusan panas di Padang menguras energi lebih besar. Setelah mandi sore dan makan malam, dia tidur. Kemarin dia tertidur tanpa sempat shalat maghrib berjamaah dan mengaji lagi. Begitulah ritme kesehariannya yang baru.

Dari Tokyo ke Padang

Tiba di padang. Ketika mendarat di Tabing, disambut oleh keramaian yang tidak biasa, Hanifa agak kaget, tapi kelihatannya tidak stress. Dalam beberapa pekan sebelum berangkat, dia berhasil dibuat cukup gembira dengan prospek kepulangan ke Indonesia ini. Kepadanya sering dikatakan bahwa di Padang nanti dia akan bersekolah dan bisa bertemu dengan saudara-saudara sepupu sebaya dia yang selama ini hanya dia ketahui namanya atau dengar suaranya lewat telepon.

Hari pertama dia langsung bisa bermain bersama Ilham, Rizki dan Ihsan, berkejar-kejaran, menggambar, bermain origami. Walaupun masih capek dari perjalanan panjang Tokyo-Kota Kinabalu-Kuala Lumpur-Padang, dia sulit diminta berhenti untuk beristirahat sepanjang siang itu, malah menolak untuk masuk kamar, karena ingin terus bergabung dengan teman-teman yang ribut bermain di luar.

Syukurlah dia terus bisa gembira, tidak merasa kehilangan suasana Tokyo dengan Koganei Koen dan taman-taman bermain yang biasa dia kunjungi, klub bermain di Hokenjo yang nyaman, kolam bola Nagasakiya yang mengasyikkan. Entah apakah setelah dewasa nanti dia masih bisa mengembalikan ingatannya pada kenangan hidup masa kecilnya di Tokyo.

Pagi ini dia berangkat ke sekolah bersama.