Sulitnya mendapatkan sedikit kompromi dan disiplin dari Hanifa belakangan ini. Dengan kosakatanya yang semakin banyak dia suka membuat macam-macam alasan untuk menunda-nunda pekerjaan. Mau sikat gigi, sebentar dulu Hanifa kan sedang masak untuk BigBird. Mau makan, nanti dulu ya, Hanifa mau main dulu. Mau mandi, nanti habis ibu saja. Sudah lewat masanya ketika dia bersedia diminta melakukan sesuatu tanpa tanya dan nanti.

Tidak jarang perlu adu argumen yang cukup panjang dan berbelit-belit untuk membuat dia akhirnya mau mengikuti perintah. Mengapa Hanifa harus mengembalikan gunting ke tempatnya? Supaya kalau nanti lagi perlu, kita gampang menemukannya. Mengapa Hanifa harus sikat gigi? Supaya giginya nggak sakit. Kalau sakit? Hanifa nggak bisa makan enak. Kalau gitu, Hanifa nggak mau makan enak. Dia suka berkelit-kelit seperti itu, menjalarkan idenya ke mana-mana untuk memenangkan sebuah perdebatan. Anak kecil saja tidak mau kalah ya. Kadang-kadang akhirnya dia mau mengerjakan apa yang diperintahkan itu, tapi tetap dengan kesan bahwa argumen itu telah dimenangkannya (Nggak, Hanifa nggak nangis lama kok waktu gunting itu hilang, cuma sebentar saja, katanya).

Menghadapi keadaan ini orangtua bisa saja bersandar pada tongkat kekuasaannya dengan memaksa. Tapi jalan itu benar-benar membuat hidup tidak nyaman. Dia akan meronta, menangis, melakukan apa yang diminta dengan berat hati, tidak bisa mengerti mengapa dia harus melakukan itu dan akhirnya tidak memberi pengajaran apa-apa baginya, kecuali rasa kesal pada orangtuanya. Jalan pemaksaan itu hanya boleh diambil sesekali saja, ketika keadaan mendesak, tidak ada waktu untuk menunggu hingga kemauannya tumbuh, atau argumentasinya patah.

Akhirnya kami sering bersandar pada ancaman dan hadiah. Anak yang nggak sikat gigi, nggak boleh tidur dekat ibu. Kalau nggak mau mandi, nanti nggak diajak ke perpustakaan. Atau, kalau Hanifa mau merapikan lagi mainan itu, ibu bacakan empat buku. Kalau Hanifa mau membersihkan meja ini, nanti ibu kasih permen. Pendekatan seperti ini sering berhasil.

Tapi saya jadi merindukan masa ketika dia sedikit lebih muda dan begitu penurut, gembira kalau bisa melakukan sesuatu seperti yang diinginkan orangtuanya, berkeinginan besar untuk mendapatkan sedikit tepuk tangan dan ciuman setelah berhasil mengerjakan apa yang diperintahkan. Tentu saja tahap "pemberontakan" yang sekarang ini lebih maju daripada tahap kepatuhan itu. Tidak ada langkah mundur dalam pertumbuhannya. Sekarang dia mulai sadar tentang pilihan bebasnya, menegaskan kemauan dirinya, bahwa dia bisa berbeda dan tidak mau disetir dari luar.

Tapi betapa rentannya menjaga keseimbangan dalam menanggapi dia di tahap ini. Kalau cadangan energi sabar sedang menipis, bisa saja sikap penolakannya itu meledakkan api kemarahan berkepanjangan. Setiap bantahannya digilas habis. Telinga tidak mau mendengar alasannya, yang selalu terasa sangat dibuat-buat. Dia akan menjalani hari-hari yang diwarnai dengan pemaksaan, tidak merasa cukup diberi kesempatan untuk berpikir sendiri, menemukan sendiri alasan dibalik sebuah tindakan yang baik. Tapi kalau terus-terusan menoleransinya, dia bisa menjadi berubah menjadi seorang yang tidak bisa berdisiplin, tidak tahu kapan waktunya untuk berhenti, tidak mengerti adanya ritme pergantian aktivitas dalam sehari. Terlalu sering mengandalkan ancaman dan hadiah pun, rasanya bukan jalan yang baik.

Saya berharap keluar dari tahap ini dia bukan menjadi seorang yang selalu perlu adu argumen atau membutuhkan ancaman dan hadiah agar mau melakukan sesuatu yang baik. Tapi, karena mengerti alasan bagi perbuatan itu, dia punya kemauan yang tumbuh secara alamiah untuk melakukannya.

Semestinya saya tidak mesti kaget mendapatkan bahwa gaya bicara Hanifa sangat mirip dengan gaya bicara ayah dan ibunya. Sudah sering disebutkan dalam buku-buku tentang perkembangan anak, bahwa mereka akan tumbuh dengan menyerap contoh apa pun dari orangtuanya.

Tapi kenyataan memang selalu lebih menyentakkan dibanding ribuan keterangan di dalam buku. Saya tetap terheran-heran mendengar betapa Hanifa bicara dan menggunakan kata-kata dengan cara yang sangat mirip dengan ibu dan ayahnya, bahkan termasuk ucapan latah tanpa arti yang terlontar ketika dia sedang terkejut.

Bukan dalam soal berbicara saja. Anak tampaknya punya dorongan batin yang sangat besar untuk menjadi seperti orangtuanya, semirip mungkin. Dia ingin mirip secara fisik. Ketika menemukan bahwa di tangannya kelihatan tumbuh bulu-bulu halus, dia berseru, "Lihat, tangan Ifa udah seperti tangan ayah , ya!" atau mendapatkan tahi lalat yang tumbuh di tempat yang sama seperti tahi lalat ibunya, pun dia merasa senang luar biasa seperti mendapat hadiah besar.

Dia juga ingin mirip dalam perbuatan. Ketika sedang makan bersama, dia meniru setiap tingkah saya. Saya minum, dia juga minum. Saya mengambil tambahan, dia pun ikut. Makan pakai tangan, juga inginnya sama-sama. Dia ingin membawa tas dengan cara yang sama seperti saya, menyimpan buku tulis dan pensilnya di tempat saya meletakkan buku dan pensil saya. Memakai kerudung seperti saya, menyisir rambut sehabis mandi dengan cara yang sama seperti saya.

Dia ingin juga mirip dalam cara bersikap. Saya melihat bagaimana dia mempraktikkan pada bonekanya cara saya bersikap kepadanya ketika dia sedang sakit. Ketika boneka Pooh, misalnya, pura-puranya sedang diperiksa oleh dokter, saya mendengar dia menggunakan kata-kata dan intonasi yang sangat mirip dengan yang saya gunakan untuk dia ketika dia sakit.

Sikap dia jadi cermin diri saya, cermin kualitas interaksi saya dengan dia. Sering kali saya merasa seperti sedang mentransfer diri saya hampir sepenuhnya pada dia, seperti sedang membuat duplikat diri saya.

Tentunya orangtua ingin melihat anaknya menjadi orang yang baik, mendapat contoh yang baik. Begitulah, rupanya secara tidak langsung anak itu mendorong orangtuanya untuk menjadi orang yang lebih baik. Bagaimana jadinya kalau orangtua merasa dirinya bukan sosok yang pantas diduplikasi?

Kecemburuan Hanifa pada calon adiknya mulai muncul. Dia mulai menyadari bahwa perhatian orangtuanya akan bergeser, setidaknya dibagi, dengan adiknya. Bayangan bahwa saya akan menggendong adik kecil itu, menyusuinya dan menempatkannya di samping saya ketika tidur, mulai mengusik dia. Ini membuat dia kadang-kadang bersikap seperti bayi keci, minta digendong, pura-pura tidak bisa berjalan, tidak bisa membuka kepalan tangannya atau tidak punya gigi seperti bayi kecil.

Hari ini dia mengosongkan laci rak yang sudah saya isi dengan persiapan baju-baju bayi. "Laci itu tidak boleh dipakai untuk adik Tomi," katanya. Setelah semua isinya dia keluarkan dan dipindah ke dalam kotak kardus bekas, dia menyimpan barang-barangnya sendiri di situ.

Yang paling berat buat dia saat ini adalah kenyataan bahwa pada saat saya melahirkan nanti dia tidak boleh ikut masuk ke ruang bersalin. "Hanifa ingin ikut ibu, Hanifa nggak mau ditinggal sendirian," dia menangis sedih setiap kali saya mengajak dia bicara soal itu.

Tapi dia perlu dipersiapkan untuk situasi itu, karena peraturan di rumahsakit soal yang satu ini benar-benar tidak bisa dilonggarkan. Bahkan setelah bayi lahir, anak kecil tetap tidak boleh dibawa masuk ke ruangan bayi. Mereka sangat khawatir kuman penyakit yang gampang menjangkiti anak-anak akan mengenai bayi-bayi baru itu. Setiap hari saya mencoba membicarakan soal ini sedikit-sedikit pada Hanifa, agar dia tidak terlalu kaget pada saatnya nanti.


Anak seusia Hanifa mulai punya ingatan geografis yang baik. Dia ingat tempat-tempat yang sering dilewatinya, tahu nama-nama tempat yang dia kunjungi, bisa menunjukkan arah dengan benar, dan mulai mengenal fungsi peta. Ketika lewat di depan peta di luar pagar SD dekat rumah ini, dia berhenti sebentar dan bertanya, sekarang kita sedang ada di mana.

Permainan yang sangat disenanginya saat ini adalah permainan simulasi kegiatan bepergian dengan macam-macam alat transportasi yang biasa kami gunakan. Dia bisa betah seharian dalam permainan ini, mengajak saya bermain naik bus atau kereta api di dalam rumah, mendatangi macam-macam tempat yang dia ketahui. Dia akan menyebut nama stasiun yang kami tuju atau nama halte tempat turun bus.

Kasur lipat itu menjadi bus, tempat tidur menjadi kereta api. Turun bus, kami ganti naik kereta api menuju sebuah stasiun, kemudian naik bus lagi, berjalan kaki sedikit ke tempat tujuan. Di sana kami melakukan kegiatan, entah belanja atau belajar, kemudian pulang dengan kendaraan itu lagi.

Apa yang terjadi di dalam kereta atau bus itu dia simulasikan dengan terperinci. Kalau penumpang sedang padat, maka dia akan berdiri sambil berpegangan, badannya kadang-kadang juga oleng karena gerakan kendaraan yang kencang atau berkelok. Dia juga bisa mengulangi kalimat-kalimat yang diucapkan oleh petugas dalam kereta atau bus dengan persis. "Hasya shimasu, otsukamari kudasai," katanya ketika bus-kasur itu mulai berjalan. Ketika tiba di halte tujuan, dia memencet bel dan menyebutkan nama halte "Keidaimae, keidaimae de gozaimasu."

Begitulah, anak-anak merekam setiap rincian dunia orang dewasa yang dia alami, kemudian menjadikannya permainan dalam dunia kecilnya sendiri. Ikut dalam permainannya berarti harus larut dalam dunia itu, tunduk pada peraturan dia. Tapi kadang saya tidak tahan berlama-lama dalam dunia serba pura-pura itu; saya memecah keseriusan dia, mengajak dia kembali ke dunia nyata dengan menolak sebutan yang sudah dia tetapkan untuk barang-barang yang ada di sekitarnya, atau sekadar mengingatkan bahwa sekarang sudah waktunya makan siang, shalat atau melakukan pekerjaan lain yang mendesak.