Ayah sedang sakit cacar air. Karena penyakit itu menular, Hanifa tidak boleh dekat-dekat ayah. Hanifa jadi agak sedih waktu dilarang mendekat ke ayah.

Ibu bawa Hanifa bermain di Nukui Hoikuen lagi hari ini. Halaman Hoikuen masih dipenuhi anak-anak. Waktu kita ke sana kemarin jam dua siang, mereka semua sedang tidur, hanya ada dua ibu dan anak lain yang juga tamu seperti kita. Hanifa belum terbiasa berada di tempat itu, dengan begitu banyak anak yang berlarian---jauh lebih banyak dibanding anak-anak di koen. Ada sekitar enam puluh anak, kata sensei yang ada di sana. Hanifa suka main panjat-panjatan, seluncuran yang ada terowongannya, naik tangga, melintasi jembatan beralas tali, meluncur di papan spiral.
Om Seno pulang pagi ini, ke kyoto dengan shinkansen. Waktu sarapan, Hanifa tidak berhenti mencoba menarik perhatiannya, ini apa ini tadi, kata Hanifa. Ini apa ini di dalam ini, mite, mite. Sebelum pulang, kita berfoto bersama. Ada foto Hanifa berdua Om Seno.
Mas Seno menginap di sini. Sehari sebelumnya, Hanifa sudah dikasih tahu ttg ini. Hanifa melihat fotonya dan mengingat namanya. Ibu dan ayah bercerita ttg kapan kita pernah bertemu dgn Om Seno. Hanifa siap untuk menerima tamu. Kasur yang digelar di ruang tengah itu untuk Om Seno, kata Hanifa. Masakan yang ibu buat sore itu juga.

Waktu Om Seno datang malam itu, mula-mula Hanifa hanya diam dan melihat-lihat saja. Tapi tidak takut. Tidak seperti dulu, waktu Hanifa menangis setiap ada di dekat orang yang tidak dikenal. Setelah setengah jam Hanifa mulai mau mendekat, memamerkan mainan, memberikan barang. Hanifa juga mulai mau bicara, kemudian bermain bersama Om Seno. Hhanifa minta dibacakan buku, nyanyi, berbagi makanan dengan Om Seno. Senang sekali Hanifa bermain sampai tidak mau tidur padahal sudah hampir jam dua belas. Ibu sudah tidur duluan. Hanifa berhenti bermain bukan karena mengantuk, tapi karena Om Seno pura-pura tertidur. Alhamdulillah Hanifa sudah tidak takut-takut lagi dengan orang baru sekarang.

Tadi pagi di koen Hanifa belajar naik sepeda sendiri untuk pertama kali. Tapi waktu sedang diam di jalur bersepeda Hanifa ditabrak dari belakang oleh anak lain. Hhanifa terjatuh dan menangis, tapi tetap ingin naik sepeda sampai di ujung. Hanya satu putaran, setelah itu kita makan onigiri di warung dekat tempat bermain itu. Hanifa tidak takut ibu tinggal sendiri di kursi makan waktu ibu pergi membuang sampah, juga waktu ibu pergi ke toilet.
Sebenarnya bermain dengan komputer itu tidak terlalu baik bagi Hanifa, karena dia jadi sulit diminta berhenti. Ketika sudah waktunya makan, hanifa tidak mau berhenti dan terus ingin bermain komputer. Memang ada manfaat mempercepat pengenalan huruf dan angka, tapi setelah kemampuan itu diperoleh, dia tidak segera naik ke level yang lebih tinggi. Dia hanya ingin bermain, bukan menambah pengetahuan. (Itulah sudut pandang orang dewasa, seluruh kegiatan harus ada manfaat terukurnya, padahal dalam bermain itu sendiri anak-anak mendapat manfaat yang besar!!) Mungkin ini hanya dalam pandangan saya yang ingin Hanifa cepat punya pemahaman lebih tinggi dalam membaca dan menghitung, tapi bagi Hanifa itu tampaknya belum penting.

hHri ini kami main ke Fuchu-no-mori. Begitulah setiap hari, pagi diawali dengan bermain ke taman. siang istirahat di rumah dan sore jalan-jalan di sekitar rumah, ke nogawa atau taman yang dekat, atau belanja. Dan tiba-tiba hari sudah malam. Badan sudah letih.
Sejak minggu lalu hanifa punya mainan baru, komputer anpanman. Dia paling suka main tebak huruf dan angka. Karena seringnya main komputer itu, sekarang Hanifa sudah mengenal seluruh abjad, hiragana dan angka sampai sepuluh. Komputer itu dibelikan supaya Hanifa merasa punya kegiatan sendiri yang mirip dengan kegiatan ibu.
Kami datang ke acara silaturahmi Idul Adha di rumah Mardiyah hari ini. Hanifa gembira sekali. Dia berteriak-teriak dalam bahasa Jepang, abunai, wakatta, sugoi, katanya. Ditambah beberapa kata aneh yang nadanya mirip cara bicara orang Jepang tapi tentu saja artinya tidak dimengerti siapa pun. Orang-orang tertawa mendengarnya.

Setelah itu kami ke rumah sakit di Musashi Sakai, melihat bayinya Bu Ghofar yang baru lahir. Ibu Ghofar juga memuji kepintaran Hanifa berbicara. Sering diajari ibunya, ya, kata Bu Ghofar.

Sekarang pun Hanifa sudah mau ikut bantu-bantu di rumah, melipat pakaian, mengambilkan barang-barang, sojiki... walau kadang rasanya seperti mengganggu he he ....

Hari ini kami ke kuriyama koen. Hanifa main pasir, bikin sakana dan kani. begitu sampai di koen, dia berteriak ingin main suberidai. Dia lari ke arah suberidai, tapi mengambil jalan agak ke kiri. tidak ada pintu masuk di situ. Dia berbalik dan bertanya, lewat mana ibu?

Kami makan bento di bangku panjang sebelah timur koen. Hanifa diam saja waktu ada orang mengajaknya bicara, mungkin dia ingin orang itu cepat-cepat pergi. begitu mereka pergi hanifa melambaikan tangan.

Kalau sedang berjalan, Hanifa suka mengambil potongan kayu atau daun kering, atau batu kecil. Saya minta persetujuan dia untuk membuang barang-barang itu. Boleh dia bilang, tapi baru saja dibuang, Hanifa menangis minta kayu atau daun itu lagi.

Sorenya ke nogawa. Sudah beberapa bulan ini kami tidak main ke nogawa karena udara dingin. Hari ini cukup hangat, kami jalan kaki lewat hutan kecil. tanah hutan itu baru dilapisi serbuk kayu. Baunya seperti dalam pabrik pemotongan kayu. Hanifa masih ingat jalan itu, ada tangga di ujungnya kata Hanifa. Dia juga masih ingat jalan ke nogawa dari jinja, dia berlari duluan dan berteriak senang waktu sungai itu sudah kelihatan. Rupanya sedang ada pekerjaan pelebaran badan sungai, kami tidak bisa turun dan duduk-duduk di batu di tengah sungai itu.

Entah sudah berapa lama dia tidak lagi menyebut makan kaman, atau lipat litap. Kita lupa mencatat, sementara anak terus bertumbuh dan mendapat kemampuan baru. Hari ini dia bisa menemukan bagian yang lunak di kulit jeruk untuk mulai mengupasnya sendiri.

Kami bermain peran, menjadi simba dan mufasa. melihat matahari menggambar bayangan kami di karpet dengan warna hitam.

Ini masa-masa butuh pengakuan dan pujian untuk apa pun yang dilakukannya. tidak seperti orang dewasa yang malu-malu mengakui keberhasilannya, yang malu berteriak girang setelah berhasil melakukan sesuatu, anak-anak justru berteriak girang begitu meraih sebuah prestasi, tak ada rasa sungkan untuk memperlihatkan kegembiraan dan menuntut pujian yang dia yakin pantas diterimanya.