"Ayah, duduk di sini ayah," kata Hanifa sambil menunjuk posisi yang dikehendakinya. Kalau yang diberi perintah tidak segera melakukannya atau keliru sedikit saja dari yang dia maksud, dia akan protes, "lho kok gitu caranya, gini dong!" Cara bicaranya sangat persis dengan cara yang kami gunakan untuk dia. Kadang terasa tidak pantas untuk diucapkan seorang anak pada orangtuanya, tapi dia tentu tidak tahu itu. Dia sedang belajar menggunakan seluruh cara ungkap yang dia tahu, tidak ada batasan tatakrama yang dapat mengaturnya. Saya membiarkan dia mencoba apa yang diketahuinya. Prinsip kaidah emas tetap berlaku dalam hubungan orangtua-anak. Perlakukan dia sebagaimana kamu ingin dia memperlakukan kamu. Kalau saya bicara pada dia dengan nada yang negatif dan menyalahkan, itulah yang dia tiru dalam cara berbicaranya. Kalau saya memperlihatkan kesabaran dan kesopanan, tentu itu pula yang terekam dalam otaknya. Kalau saya sering marah, dia juga akan jadi anak pemarah.

Beberapa hari lalu dia kelihatan cemberut dan diam. "Mengapa Hanifa?" tanya saya. "Ifa sedang marah," katanya dengan gaya yang mengingatkan saya pada episode marah saya berbulan-bulan yang lalu. Waktu itu saya mencoba menahan diri untuk tidak melampiaskan kemarahan secara fisik. Saya menyalurkannya dengan ucapan pemberitahuan bahwa saya sedang marah, sedang tidak mau melayani permintaannya bahkan tidak mau tersenyum. Ternyata dia merekam itu dan memutar ulangnya saat ini.

Komputer, internet, mouse sudah jadi kosakata Hanifa pada usia dua setengah tahun. Sungguh terasa perbedaannya dengan generasi saya. Ketika saya kecil, televisi dan telepon pun belum ada di rumah. Kulkas dan mesin cuci juga tidak. Saya biasa melihat gerobak yang ditarik sapi di jalan-jalan desa, bendi yang ditarik kuda di pasar-pasar, sampan di sungai. Kendaraan bermotor masih jarang dan tak terjangkau, alat listrik dalam rumah terasa terlalu mewah kecuali radio dan lampu listrik.

Televisi mulai masuk rumah ketika saya berumur sembilan tahun. Mesin cuci dan kulkas umur sepuluh. Komputer pada umur tujuh belas, dan telepon di rumah baru muncul ketika saya berumur dua puluhan. Internet dua puluh lima. Kamera saja pun termasuk barang mewah. Keluarga saya tidak punya kamera sendiri hingga saya berusia dua puluh-an. Kami tidak punya rekaman yang cukup dalam bentuk foto tentang masa kecil kami. Beberapa momen penting seperti waktu lebaran dan perisitwa tertentu dipotret oleh saudara atau juru foto yang dipanggil ke rumah. Tapi sekarang Hanifa punya foto rekaman masa kecilnya untuk hampir setiap pekan.

Percepatan teknologi akan membuat tahun-tahun awal yang dilewati Hanifa berbeda sama sekali dengan pengalaman masa kecil saya. Dia mengalami masa kecil yang memadukan antara yang nyata dan yang virtual. Dia tidak heran dengan komunikasi tanpa tatap muka lewat telepon atau email. Dia tahu dia bisa menemukan permainan yang asyik di situs-situs internet. Dia bisa tahu tentang berbagai binatang dan tumbuhan dari majalah di internet. Dia bisa bertemu tokoh-tokoh dalam buku ceritanya di internet. Semua ini akan membentuk isi otak dan cara berpikir yang sangat berbeda dari apa yang saya peroleh lewat pengalaman masa kecil saya.

Bagi dia rentang kemungkinan menjadi lebih lebar. Karena saya tidak mengalaminya sejak kecil saya barangkali tidak pernah terpikirkan bahwa komunikasi seketika itu bisa terjadi. Saya masih merasa asing dan kewalahan dengan banjir informasi, masih seperti ingin menjelajah ke mana-mana tanpa fokus. Jika ketersediaan informasi telah jadi sesuatu yang sangat biasa dalam keseharian seperti bagi anak-anak sekarang, mereka tentu tidak perlu lagi melewati tahap terpukau seperti saya, membuang-buang waktu dengan rasa berlimpah dan kaya yang ingin direguk dalam-dalam sebelum tiba-tiba sadar tentang perlunya arah dan fokus di belantara itu.

Barusan saya membukakan permainan mengenal alfabet, angka dan huruf hiajiyah untuk Hanifa. Belajar jadi begitu mudah dan dini buat dia. Menyenangkan, materinya ditampilkan dengan warna, musik dan trik yang menarik. Belajar jadi tidak berbeda dengan bermain.

Tapi saya membaca pula sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak yang terlalu banyak terpapar media elektronik akan mengalami sindrome kejenuhan media. Maksudnya ini, anak tersebut akan merasa rangsangan inderawi dari videogame, televisi dan komputer itu lebih menyenangkan daripada interaksi nyata dengan dunia dan suara dari orang dan lingkungan yang nyata. Lingkungan nyata terasa lebih kacau dan mengganggu bagi mereka. Anak-anak ini biasanya berhadapan dengan media elektronik itu lebih dari enam jam dalam sehari. Penelitian itu menemukan bahwa ketika sedang bermain game dan menonton televisi, otak anak-anak tidak mengeluarkan gelombang beta yang mengatur emosi dan kepekaan rasa. Itulah yang membuat mereka tumbuh menjadi orang-orang yang tidak seimbang secara emosional dan tidak peka pada lingkungan. Gejala itu bisa terlihat sejak bayi, dengan meningkatnya jumlah bayi yang menangis kalau televisi dimatikan.

Tentu saja saya tidak ingin Hanifa mengalami sindroma seperti itu. Mudah sekali untuk jatuh ke situ karena kalau sedang kewalahan menghadapi tuntutan anak. Pilihan gampang untuk menenangkannya adalah dengan menyalakan televisi, video atau game komputer, dan membiarkannya dihibur oleh permainan elektronik itu. Tidak disadari pada awalnya bahwa ini akan membentuk kebiasaan pada anak. Dia akan membentuk pola itu dalam dirinya, di saat dia bermasalah, televisi dan video adalah penenang dirinya, tidak berbeda dengan orang kegemukan lantaran punya kebiasaan untuk lari dari kemelut dirinya dengan mengunyah cemilan.

Sekali lagi saya berhadapan dengan tuntutan untuk mencari keseimbangan di sini. Tidak mengucilkan dia dari zamannya dan tidak mengumbar habis kemudahan zaman untuk menggerogoti batinnya. Itulah kesadaran baru yang dituntut zaman pada orangtua generasi sekarang.

Saya pikir saya telah memberikan didikan yang baik ketika beberapa kali saya meminta tolong pada Hanifa dan dia melaksanakan perintah itu dengan baik. Mengambilkan botol minuman, menyimpan barang-barang, mengambilkan tisu, membersihkan meja dan lain-lain. Dia mulai bisa dilibatkan dalam tugas-tugas ringan di dalam rumah. Tentu saya sangat senang melihat itu. Setiap kali ada suatu keperluan yang kira-kira bisa dia lakukan, saya pun akan minta tolong dengan gembira.

Tapi saya tidak segera sadar bahwa pada saat yang sama saya sedang memberi contoh. Belakangan dia sering melakukan yang sama terhadap saya, secara sangat persis. Dia meminta tolong pada saya di saat-saat dia butuh sesuatu, mengucapkan permintaan tolongnya dengan intonasi yang sama. Karena itu kadang-kadang terasa seperti perintah yang tidak pantas diucapkan anak kepada orangtua.

Apa yang dilakukannya tentu saja tidak salah. Saya hanya kaget betapa cara dia berbicara dan bertindak begitu mirip dengan orangtuanya, karbon kopi. Darimana lagi saya berharap dia akan mendapat contoh dan belajar kalau bukan dari orangtua yang setiap saat ada bersama dia. Tapi saya ingin juga menanamkan sedikit sopan santun berbicara pada orangtua. Yang ditirunya sekarang adalah cara bicara orangtua kepada anak, terasa tidak pantas ketika dia mengucapkannya. apakah mungkin harapan itu terlalu dini? Uh, betapa angkuhnya orangtua, ya. Gila hormat!
Untuk menyibukkan dan menarik perhatian Hanifa ke arah lain ketika dia minta digendong saat saya sedang memasak, saya minta tolong dia untuk membukakan bungkus bumbu sop bunjut. Saya kira dengan itu saya bisa mencuri waktu yang panjang untuk menyelesaikan pekerjaan karena bungkus itu sulit dibuka. Saya lihat dia berdiri di ruang tengah, mencoba menarik-narik plastiknya. Keras. Mungkin dia akan menyerah. Dugaan saya salah. Dia punya akal. Dia ambil gunting, dia potong bagian atas plastik pembungkusnya dan dalam sekejap dia datang kembali ke dapur menyerahkan hasil kerjanya. Ya, dia sudah mengenal gunting. Saya lupa itu. Saya tidak menduga dia akan menggunakan alat untuk tugas yang saya berikan. Saya meremehkan kemampuan nalar dia.

Pagi ini hanifa dibawa ke dokter. Sejak dua hari lalu badannya panas, hidung tersumbat dan batuk-batuk. Dia masih bersemangat main di siang hari, hampir seperti normal, tapi semalam dia sulit tidur, batuk-batuk dan ingus terus mengucur. Panas badannya di atas 38. Meski hari ini hujan, kami bawa dia ke dokter.

Melihat hanifa sakit, saya jadi mengerti kapan anak paling membutuhkan orangtuanya: waktu dia sedang bermasalah. sakit, kecewa, dan sedih. Dia butuh orangtuanya berada di dekat dia pada saat-saat seperti itu, kecuali kalau dia terang-terangan menolak.

Siang ini dia tertidur. Beberapa kali terjaga karena kondisi tubuhnya yang tidak enak membuat tidurnya tidak nyenyak. Tiap kali akan kembali tidur, dia memerlukan saya berada di sampingnya, untuk menemani dia sampai tertidur lagi. Saya biarkan dia tidur agak lama siang ini. Dokter menganjurkan dia tidak dibawa keluar sampai benar-benar sembuh. Dalam cuaca gerimis bulan Juni ini saya memang tidak bisa membawanya main keluar.
Melihat laba-laba, belalang, semut dan serangga kecil lainnya pernah menjadi kegiatan yang disukai Hanifa. Dia memanggilnya, mengajaknya berbicara, menanya dia hendak ke mana atau di mana rumahnya. Dia mengawasi binatang kecil itu hingga lenyap, kadang ingin memegangnya. Tidak terlihat rasa takut sedikit pun dalam dirinya.

Masa itu tampaknya sudah lewat. Sekarang dia menjerit takut melihat serangga-serangga kecil itu. Semut yang menyusuri bibir tempat sampah menyurutkan langkahnya menuju ke tempat sepatu. Sedang asyik main di teras belakang dia tiba-tiba menjerit dan berlari masuk begitu seekor semut mendekatinya. Laba-laba di dinding tidak lagi jadi tontonan menarik. Nyamuk di toilet membuat dia ingin buru-buru turun dari kloset dan tidak jadi kencing

Kalau sedang ketakutan, Hanifa lari memeluk ayah atau ibunya erat-erat sambil menyembunyikan wajahnya. Tapi rasa ingin tahu mendorong dia untuk sesekali mengintip situasi, tapi kemudian cepat-cepat menutup mata dan kembali menyembunyikan wajah. Dia merasa aman di sana.

Saya kira rasa takutnya mulai tumbuh pertama kali ketika melihat kecoa yang mati disemprot obat pembasmi di awal musim semi ini. Barangkali pemandangan kecoa yang menggelepar mati dan sosok kecoa dengan mata, kaki dan sungut yang terlihat lebih jelas itu terus membayang di benaknya. Tapi saya tidak sepenuhnya mengerti mengapa tumbuh rasa tidak aman bersama bayangan itu.

Salah satu acara baru dalam paket siaran anak-anak stasiun televisi NHK kayaknya juga ikut memicu itu. Dalam acara itu muncul orang-orang berjubah hitam dan bertopeng seram warna merah tua dengan mata melotot dan gigi bertaring. Mereka melompat-lompat dan menatap kamera dekat-dekat. Setiap kali acara itu muncul Hanifa lari bersembunyi atau mengintip televisi dari balik tangannya.

Sebuah kepolosan telah hilang dari kekanak-kanakannya. Di sini saya bukan menyesalinya tapi melihat perkembangan baru yang mempersiapkan dia masuk ke dunia yang lebih luas. Rasa takut itu dia perlukan untuk menjaga diri. Dia perlu tahu batas mana yang aman bagi dia. Saya hanya mesti menjaga agar rasa takutnya itu tidak terlalu berlebihan.

Saya tentu saja ingin membantu dia menghilangkan ketakutan itu, bukan dengan menertawakannya atau menganggap perasaan itu tidak ada. Saya ingin dia tahu apa alasan ketakutannya, mau membicarakannya, dan akhirnya melihat binatang-binatang itu sebagai teman yang baik selama tidak mengganggu dan membahayakannya. Salah dalam menangani fase ini bisa membuat dia mengembangkan ketakutan yang lebih besar dan dalam.

Waktu kecil saya juga sangat penakut. Takut gelap, terutama. Hanifa juga sering mengucapkan pernyataan itu, mengutip dari seri cerita balita si Nisa. Tapi sebenarnya dia tidak benar-benar takut berada di tempat gelap. Setiap malam sebelum tidur dia mematikan lampu sendiri. Dia lebih takut pada binatang kecil yang merayap di pojok-pojok toilet, di dinding, di lantai dan di dedaunan. Mungkin masih ada jenis ketakutan lain yang di dalam dirinya yang belum terungkap.