Hanifa memahami waktu sebagai perpindahan dari satu kegiatan ke kegiatan lain. Dia mulai mengenal jam, tahu perbedaan pagi, siang, sore dan malam. Kalau saya mengatakan setelah ini kita makan, dia akan memburu saya dengan pertanyaan habis itu apa, habis itu apa, terus menerus hingga akhirnya jawaban saya tiba pada kegiatan untuk hari yang berbeda dan saya meminta dia menghentikan pertanyaan itu.
Hanifa belum mengerti apa arti janji dan konsekuensi sebuah kata-kata. Saya minta dia berjanji tidak akan pipis di celana lagi. Dia mengangguk dan mengiyakan berkali-kali dengan sangat meyakinkan. Detik berikutnya yang saya ketahui, celananya sudah basah di tempat dia duduk di atas bantalan kursi. Saya tuntut janjinya yang tadi, seperti tak ada bekas di wajahnya bahwa dia pernah bertekad untuk tidak melakukan itu. Dia hanya mengucapkan kata janji tanpa tahu bahwa dari situ ada sebuah sikap yang dituntut darinya.
Hanifa sedang tidak merasa cukup puas kalau hanya berjalan di dalam rumah. Dia perlu berlari, melompat dan memanjat. Suara gaduh yang ditimbulkannya kadang membuat kami begitu kesal karena khawatir terlalu mengganggu tetangga sebelah. Tinggal di rumah kayu dengan dinding yang begini tipis, bunyi klip memotong kuku pun bisa sampai ke kamar sebelah. Tapi Hanifa tidak bisa berhenti. Dia didorong oleh kebutuhan fisik alamiahnya untuk melakukan itu. Dia tetap berlari, melompat dan memanjat sampai malam, meskipun siangnya puas melakukan itu di luar rumah.
Saat ini sudah emakin sulit untuk mendapat kata sepakat dari Hanifa untuk sebuah permintaan kerja sama. Dia seperti tidak butuh lagi pujian dan penghargaan setelah melakukan sesuatu yang baik. Setiap kali dimintai tolong untuk mengerjakan sesuatu yang biasanya dengan segera bersedia dia lakukan, kini dia hanya menawarkan jawaban tidak. Apa pun iming-iming yang ditawarkan untuk mengubah pendiriannya sepertinya tidak mempan. Dia tetap tidak mau membuang sampah di tempatnya, merapikan kembali mainan dan buku-bukunya, membantu mengambilkan botol minum, atau mengembalikan suatu barang ke tempatnya.

Rupanya sekarang dia mulai sadar tentang kuasa dia untuk berkata tidak, untuk menolak dan melakukan hanya apa yang disukainya. Sudah lewat masanya ketika dia merasa butuh pujian dan pengakuan atas kemampuannya melakukan sesuatu. Kebebasan tampaknya mulai lebih menarik daripada pujian dan penghargaan.
Sepanjang hari Hanifa seolah-olah mencatat di alam bawah sadarnya apa saja permintaannya yang tidak dipenuhi dan di malam hari semua kekecewaannya mengalir melalui mimpi. Dia menjerit tengah malam meneriakkan kata-kata seperti saat dia marah-marah siang tadi, tidurnya gelisah dan dia tampak ketakutan. Agar saya bisa tidur malam dengan tenang, saya kira saya harus menemukan cara agar kehendaknya tidak berhadapan dengan jalan buntu sama sekali. Beri alternatif agar dia tidak merasakan penolakan terlalu telak atas permintaannya.
Saya sering terpana melihat keseriusan Hanifa dalam permainannya. Tadi malam dia begitu sibuk mengatur kami untuk terlibat dalam piknik yang diadakannya di ruang tengah. Dia bolak-balik membetulkan alas duduk khayali yang tidak kelihatan oleh kami. Dia mengosongkan terlebih dahulu sebuah ruang untuk meletakkan tikar itu. Cangkir-cangkir es krim berisi bola warna-warni yang kami pegang harus dipinggirkan. Setelah tikar terpasang kami baru boleh duduk di posisi yang dia tetapkan sambil memegang cangkir es krim itu. Setelah itu dia kembali berlari ke ujung tikar di belakang kami yang rupanya telah terangkat angin khayali dan harus dibetulkan lagi.
Hanifa sering bertanya, "Ibu sudah kecil?" Saya menjawab sesuka hati: sudah, atau pernah, atau belum. Tentu saja pada mulanya saya tidak menganggap serius pertanyaan itu, tidak mengerti asal usulnya. Saya kira pertanyaan itu hanya lintasan pikirannya yang sedang mengenal kata-kata baru dan mencoba menggabung-gabungkannya. Tapi dia berulang kali menanyakan pertanyaan yang sama setiap hari.

Suatu kali saya jadi mengerti alasan bagi pertanyaannya itu. Saat itu dia meminta saya untuk berdiri di belakang pemanas ruang yang terletak di pojok ruangan, pura-pura jadi kasir. Ruang di pojok itu sempit sekali, hanya cukup untuk ukuran tubuh Hanifa. Meja kasir itu pun rendah, setinggi dadanya. Yang cocok berdiri di belakang meja kasir itu memang hanya dia. Saya menolak ajakannya dengan mengatakan, "Ibu sudah besar, nggak bisa masuk ke situ." tidak berapa lama kemudian dia datang bersandar kepada saya sambil bertanya, "Ibu sudah kecil?" Rupanya dia berharap saya cukup kecil untuk bisa ikut dalam permainannya dengan cara yang dinginkannya.
Kami sedang berjalan di trotoar. tiba-tiba Hanifa berhenti, "apa itu," tanyanya sambil menunjuk ke semak-semak pagar. Saya melihat ke arah yang ditunjuknya tapi tidak menemukan apa-apa. "Itu," katanya lagi. Sesuatu tampak bergerak di sana. Rupanya laba-laba kecil, seujung kuku.

Ketertarikan hanifa pada binatang-binatang kecil itu sedang meningkat. Matanya begitu tajam menemukan setitik hitam di dinding, di balik rerumputan dan daun-daun, di sela-sela batu dan di pojok ruangan. Semut, kumbang, lebah, laba-laba, nyamuk, lalat, ulat, cacing, tentomushi, kabutomushi, semi, capung, belalang, kupu-kupu dan kecoa. Ada di antaranya yang tidak saya ketahui namanya. Dia sering berjongkok di jalan, memperhatikan binatang itu dekat-dekat. Dia masih belum berani memegangnya, tapi ini perubahan besar di banding bulan lalu ketika dia ketakutan begitu melihat binatang-binatang kecil itu.