Sudah saatnya saya mesti menambahi sedikit-sedikit kepercayaan saya pada kemampuan Hanifa untuk mandiri. Berjalan pulang dari pengajian hari ini, beberapa kali tali sepatunya lepas. Dia berhenti untuk memperbaikinya. Saya mengulurkan tangan untuk membantu, tapi ditepisnya. Duduk di peron menunggu kereta, saya angkat dia ke kursi plastik. Dia turun lagi dan kemudian naik sendiri, seolah-olah duduk yang tadi tidak sah, harus dilakukan sendiri. Tiba di stasiun Kokubunji, dia masih mengantuk --sempat tertidur di jalan--. Saya gendong dia keluar gerbong. Dia lantas membuka mata dan minta jalan sendiri walaupun masih terkantuk-kantuk.

Makin hari dia makin ingin menegaskan kemandiriannya. Bukankah sudah sejak beberapa bulan ini dia tidak lagi mau dibantu memasang kancing sebelum dia benar-benar mencoba dan gagal? Atau memasang sepatu, kaos kaki, topi, puzzle, atau kaset dan CD di tempatnya. Saya sudah boleh sedikit menepi dalam penanganan urusan-urusan kesehariannya.

Ini hanya tahap pertama dia ingin melepaskan dari orangtuanya. Masih sebatas hal-hal fisik. Seiring pertambahan usia dia akan minta lebih banyak lagi keluangan pribadi. Sekarang dia sudah mendesak untuk memilih pakaian sendiri, memilih cara makan sendiri, memilih pakai sepatu yang mana, memilih akan pergi ke mana hari ini. Nanti dia akan mendesak untuk dibiarkan memilih sekolah sendiri, memilih cara berpakaian, cara belajar, teman, bahkan jalan hidup dan cara beragamanya sendiri. Nanti tiba saatnya saya hanya bertugas untuk ada baginya saat dia butuh telinga untuk mendengar dan tangan untuk merangkul, saat dia butuh kawan bicara untuk melegakan dadanya dari tumpukan kesal dan kecewa. Sebelum sampai di sana saya perlu menumbuhkan kedekatan dan kepercayaannya pada orangtua sebagai teman yang akan mengiringinya melangkah masuk ke dunia yang serbaneka ini.

No comments: