Melihat laba-laba, belalang, semut dan serangga kecil lainnya pernah menjadi kegiatan yang disukai Hanifa. Dia memanggilnya, mengajaknya berbicara, menanya dia hendak ke mana atau di mana rumahnya. Dia mengawasi binatang kecil itu hingga lenyap, kadang ingin memegangnya. Tidak terlihat rasa takut sedikit pun dalam dirinya.
Masa itu tampaknya sudah lewat. Sekarang dia menjerit takut melihat serangga-serangga kecil itu. Semut yang menyusuri bibir tempat sampah menyurutkan langkahnya menuju ke tempat sepatu. Sedang asyik main di teras belakang dia tiba-tiba menjerit dan berlari masuk begitu seekor semut mendekatinya. Laba-laba di dinding tidak lagi jadi tontonan menarik. Nyamuk di toilet membuat dia ingin buru-buru turun dari kloset dan tidak jadi kencing
Kalau sedang ketakutan, Hanifa lari memeluk ayah atau ibunya erat-erat sambil menyembunyikan wajahnya. Tapi rasa ingin tahu mendorong dia untuk sesekali mengintip situasi, tapi kemudian cepat-cepat menutup mata dan kembali menyembunyikan wajah. Dia merasa aman di sana.
Saya kira rasa takutnya mulai tumbuh pertama kali ketika melihat kecoa yang mati disemprot obat pembasmi di awal musim semi ini. Barangkali pemandangan kecoa yang menggelepar mati dan sosok kecoa dengan mata, kaki dan sungut yang terlihat lebih jelas itu terus membayang di benaknya. Tapi saya tidak sepenuhnya mengerti mengapa tumbuh rasa tidak aman bersama bayangan itu.
Salah satu acara baru dalam paket siaran anak-anak stasiun televisi NHK kayaknya juga ikut memicu itu. Dalam acara itu muncul orang-orang berjubah hitam dan bertopeng seram warna merah tua dengan mata melotot dan gigi bertaring. Mereka melompat-lompat dan menatap kamera dekat-dekat. Setiap kali acara itu muncul Hanifa lari bersembunyi atau mengintip televisi dari balik tangannya.
Sebuah kepolosan telah hilang dari kekanak-kanakannya. Di sini saya bukan menyesalinya tapi melihat perkembangan baru yang mempersiapkan dia masuk ke dunia yang lebih luas. Rasa takut itu dia perlukan untuk menjaga diri. Dia perlu tahu batas mana yang aman bagi dia. Saya hanya mesti menjaga agar rasa takutnya itu tidak terlalu berlebihan.
Saya tentu saja ingin membantu dia menghilangkan ketakutan itu, bukan dengan menertawakannya atau menganggap perasaan itu tidak ada. Saya ingin dia tahu apa alasan ketakutannya, mau membicarakannya, dan akhirnya melihat binatang-binatang itu sebagai teman yang baik selama tidak mengganggu dan membahayakannya. Salah dalam menangani fase ini bisa membuat dia mengembangkan ketakutan yang lebih besar dan dalam.
Waktu kecil saya juga sangat penakut. Takut gelap, terutama. Hanifa juga sering mengucapkan pernyataan itu, mengutip dari seri cerita balita si Nisa. Tapi sebenarnya dia tidak benar-benar takut berada di tempat gelap. Setiap malam sebelum tidur dia mematikan lampu sendiri. Dia lebih takut pada binatang kecil yang merayap di pojok-pojok toilet, di dinding, di lantai dan di dedaunan. Mungkin masih ada jenis ketakutan lain yang di dalam dirinya yang belum terungkap.
No comments:
Post a Comment