"Ayah, duduk di sini ayah," kata Hanifa sambil menunjuk posisi yang dikehendakinya. Kalau yang diberi perintah tidak segera melakukannya atau keliru sedikit saja dari yang dia maksud, dia akan protes, "lho kok gitu caranya, gini dong!" Cara bicaranya sangat persis dengan cara yang kami gunakan untuk dia. Kadang terasa tidak pantas untuk diucapkan seorang anak pada orangtuanya, tapi dia tentu tidak tahu itu. Dia sedang belajar menggunakan seluruh cara ungkap yang dia tahu, tidak ada batasan tatakrama yang dapat mengaturnya. Saya membiarkan dia mencoba apa yang diketahuinya. Prinsip kaidah emas tetap berlaku dalam hubungan orangtua-anak. Perlakukan dia sebagaimana kamu ingin dia memperlakukan kamu. Kalau saya bicara pada dia dengan nada yang negatif dan menyalahkan, itulah yang dia tiru dalam cara berbicaranya. Kalau saya memperlihatkan kesabaran dan kesopanan, tentu itu pula yang terekam dalam otaknya. Kalau saya sering marah, dia juga akan jadi anak pemarah.

Beberapa hari lalu dia kelihatan cemberut dan diam. "Mengapa Hanifa?" tanya saya. "Ifa sedang marah," katanya dengan gaya yang mengingatkan saya pada episode marah saya berbulan-bulan yang lalu. Waktu itu saya mencoba menahan diri untuk tidak melampiaskan kemarahan secara fisik. Saya menyalurkannya dengan ucapan pemberitahuan bahwa saya sedang marah, sedang tidak mau melayani permintaannya bahkan tidak mau tersenyum. Ternyata dia merekam itu dan memutar ulangnya saat ini.

No comments: