Komputer, internet, mouse sudah jadi kosakata Hanifa pada usia dua setengah tahun. Sungguh terasa perbedaannya dengan generasi saya. Ketika saya kecil, televisi dan telepon pun belum ada di rumah. Kulkas dan mesin cuci juga tidak. Saya biasa melihat gerobak yang ditarik sapi di jalan-jalan desa, bendi yang ditarik kuda di pasar-pasar, sampan di sungai. Kendaraan bermotor masih jarang dan tak terjangkau, alat listrik dalam rumah terasa terlalu mewah kecuali radio dan lampu listrik.

Televisi mulai masuk rumah ketika saya berumur sembilan tahun. Mesin cuci dan kulkas umur sepuluh. Komputer pada umur tujuh belas, dan telepon di rumah baru muncul ketika saya berumur dua puluhan. Internet dua puluh lima. Kamera saja pun termasuk barang mewah. Keluarga saya tidak punya kamera sendiri hingga saya berusia dua puluh-an. Kami tidak punya rekaman yang cukup dalam bentuk foto tentang masa kecil kami. Beberapa momen penting seperti waktu lebaran dan perisitwa tertentu dipotret oleh saudara atau juru foto yang dipanggil ke rumah. Tapi sekarang Hanifa punya foto rekaman masa kecilnya untuk hampir setiap pekan.

Percepatan teknologi akan membuat tahun-tahun awal yang dilewati Hanifa berbeda sama sekali dengan pengalaman masa kecil saya. Dia mengalami masa kecil yang memadukan antara yang nyata dan yang virtual. Dia tidak heran dengan komunikasi tanpa tatap muka lewat telepon atau email. Dia tahu dia bisa menemukan permainan yang asyik di situs-situs internet. Dia bisa tahu tentang berbagai binatang dan tumbuhan dari majalah di internet. Dia bisa bertemu tokoh-tokoh dalam buku ceritanya di internet. Semua ini akan membentuk isi otak dan cara berpikir yang sangat berbeda dari apa yang saya peroleh lewat pengalaman masa kecil saya.

Bagi dia rentang kemungkinan menjadi lebih lebar. Karena saya tidak mengalaminya sejak kecil saya barangkali tidak pernah terpikirkan bahwa komunikasi seketika itu bisa terjadi. Saya masih merasa asing dan kewalahan dengan banjir informasi, masih seperti ingin menjelajah ke mana-mana tanpa fokus. Jika ketersediaan informasi telah jadi sesuatu yang sangat biasa dalam keseharian seperti bagi anak-anak sekarang, mereka tentu tidak perlu lagi melewati tahap terpukau seperti saya, membuang-buang waktu dengan rasa berlimpah dan kaya yang ingin direguk dalam-dalam sebelum tiba-tiba sadar tentang perlunya arah dan fokus di belantara itu.

Barusan saya membukakan permainan mengenal alfabet, angka dan huruf hiajiyah untuk Hanifa. Belajar jadi begitu mudah dan dini buat dia. Menyenangkan, materinya ditampilkan dengan warna, musik dan trik yang menarik. Belajar jadi tidak berbeda dengan bermain.

Tapi saya membaca pula sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak yang terlalu banyak terpapar media elektronik akan mengalami sindrome kejenuhan media. Maksudnya ini, anak tersebut akan merasa rangsangan inderawi dari videogame, televisi dan komputer itu lebih menyenangkan daripada interaksi nyata dengan dunia dan suara dari orang dan lingkungan yang nyata. Lingkungan nyata terasa lebih kacau dan mengganggu bagi mereka. Anak-anak ini biasanya berhadapan dengan media elektronik itu lebih dari enam jam dalam sehari. Penelitian itu menemukan bahwa ketika sedang bermain game dan menonton televisi, otak anak-anak tidak mengeluarkan gelombang beta yang mengatur emosi dan kepekaan rasa. Itulah yang membuat mereka tumbuh menjadi orang-orang yang tidak seimbang secara emosional dan tidak peka pada lingkungan. Gejala itu bisa terlihat sejak bayi, dengan meningkatnya jumlah bayi yang menangis kalau televisi dimatikan.

Tentu saja saya tidak ingin Hanifa mengalami sindroma seperti itu. Mudah sekali untuk jatuh ke situ karena kalau sedang kewalahan menghadapi tuntutan anak. Pilihan gampang untuk menenangkannya adalah dengan menyalakan televisi, video atau game komputer, dan membiarkannya dihibur oleh permainan elektronik itu. Tidak disadari pada awalnya bahwa ini akan membentuk kebiasaan pada anak. Dia akan membentuk pola itu dalam dirinya, di saat dia bermasalah, televisi dan video adalah penenang dirinya, tidak berbeda dengan orang kegemukan lantaran punya kebiasaan untuk lari dari kemelut dirinya dengan mengunyah cemilan.

Sekali lagi saya berhadapan dengan tuntutan untuk mencari keseimbangan di sini. Tidak mengucilkan dia dari zamannya dan tidak mengumbar habis kemudahan zaman untuk menggerogoti batinnya. Itulah kesadaran baru yang dituntut zaman pada orangtua generasi sekarang.

No comments: