Bulan nyaris purnama di langit malam ini. Hanifa mengintipnya dari balik jendela. Awan hitam tipis menutup sebagian wajah bulan. Hanifa bergegas lari ke arah saya, yang sedang menimang Rasyad sambil bersenandung kecil untuk menidurkannya. Dia berbisik, "Hanifa ingin ke bulan itu."
Permintaan semacam ini sering direngekkan Hanifa kalau sudah mulai mengantuk. Variannya yang lain adalah "ingin belajar terbang" atau "ingin tidur di awan." Saya tidak pasti apakah dia tahu bahwa itu mustahil dipenuhi, dia memintanya dengan nada yang sama seperti saat dia meminta dibuatkan teh atau dibacakan buku. Tapi mungkin dia tahu itu karena dia memintanya diiringi wajah sedih. Biasanya begitu melihat saya terdiam sejenak setelah mendengar permintaan itu, dia akan menangis dan mengulangi rengekannya di tengah suara tangisnya.
Saya sudah belajar dari pengalaman terdahulu bahwa permintaan semacam itu tidak bisa ditolak tegas dengan mengedepankan realitas atau logika. Dia akan jadi makin sedih. Air mata yang perlu dibendung akan semakin banyak dan dadanya jadi sesak, sulit bernapas dan dia akan terus terisak-isak. Harus dicarikan jawaban yang tak kalah imajinatif atau pengalih perhatian yang tidak mengabaikan permintaan itu sebagai omong kosong anak-anak saja.
Lantas berkhayallah kami bersama terbang menuju bulan dan bintang, melintasi awan dengan kedua tangan mengacung ke depan seperti anpanman atau superman atau batman lagi terbang, atau kedua tangan berayun di kiri dan kanan seperti sayap burung. Kami bertemu dengan pesawat terbang yang sedang menembus hamparan awan putih. Sampai akhirnya kami tiba di bulan dan tidak menemukan apa-apa di sana kecuali kelinci-kelinci yang melompat ke sana ke mari. Tidak ada pohon, tidak ada air atau orang-orang lain sehingga kami harus cepat-cepat kembali ke bumi.
Lantas bernyanyilah saya lagu 'Ambilkan bulan, bu.' dan Hanifa berkhayal bulan itu sudah sampai di pelukannya, yang kini dia taruh di samping bantalnya, dan bulan itu sedang tersenyum. Tapi dia masih belum mau tidur juga dan adiknya mulai menangis karena juga belum bisa tidur. Akhirnya pukul sembilan, ayah mereka pulang, Hanifa melupakan bulannya, kantuknya buyar, dan dia bergegas mempersiapkan episode bermain masak-masakan bersama ayahnya sampai kantuk gelombang kedua hinggap di matanya.
No comments:
Post a Comment