Kecemburuan Hanifa pada calon adiknya mulai muncul. Dia mulai menyadari bahwa perhatian orangtuanya akan bergeser, setidaknya dibagi, dengan adiknya. Bayangan bahwa saya akan menggendong adik kecil itu, menyusuinya dan menempatkannya di samping saya ketika tidur, mulai mengusik dia. Ini membuat dia kadang-kadang bersikap seperti bayi keci, minta digendong, pura-pura tidak bisa berjalan, tidak bisa membuka kepalan tangannya atau tidak punya gigi seperti bayi kecil.
Hari ini dia mengosongkan laci rak yang sudah saya isi dengan persiapan baju-baju bayi. "Laci itu tidak boleh dipakai untuk adik Tomi," katanya. Setelah semua isinya dia keluarkan dan dipindah ke dalam kotak kardus bekas, dia menyimpan barang-barangnya sendiri di situ.
Yang paling berat buat dia saat ini adalah kenyataan bahwa pada saat saya melahirkan nanti dia tidak boleh ikut masuk ke ruang bersalin. "Hanifa ingin ikut ibu, Hanifa nggak mau ditinggal sendirian," dia menangis sedih setiap kali saya mengajak dia bicara soal itu.
Tapi dia perlu dipersiapkan untuk situasi itu, karena peraturan di rumahsakit soal yang satu ini benar-benar tidak bisa dilonggarkan. Bahkan setelah bayi lahir, anak kecil tetap tidak boleh dibawa masuk ke ruangan bayi. Mereka sangat khawatir kuman penyakit yang gampang menjangkiti anak-anak akan mengenai bayi-bayi baru itu. Setiap hari saya mencoba membicarakan soal ini sedikit-sedikit pada Hanifa, agar dia tidak terlalu kaget pada saatnya nanti.
No comments:
Post a Comment