Hanifa mulai menuntut kemandirian dalam soal ke kamar kecil. Setiap mau masuk toilet, dia bilang, "Biar Ifa sendiri, ibu di luar aja." Kemudian dia tutup pintunya rapat-rapat.
Mestinya saya senang, bisa berlepas tangan untuk satu urusan ini. Tapi saya masih belum bisa sepenuhnya percaya bahwa dia bisa menyelesaikan urusan di dalam sana sendirian. Kadang saya tidak tahan untuk tidak bertanya atau mengintip, apakah dia bisa membilas, memotong tisu, mengelap dan memasang kembali celananya dengan baik.
Pernah saya buka pintunya tanpa izin, dia marah, mengusir saya keluar lagi. Tapi kalau saya mengetuk dan bertanya dari luar, dia mengizinkan saya masuk dan membantu dia untuk bilasan terakhir. Sikap dia membuat saya belajar bahwa dia juga perlu dipercaya. Dia juga punya privasi yang tidak boleh dilanggar. Saya mesti mengabaikan keraguan saya dan membiarkan dia melangkah maju mempercayai kemampuannya sendiri.
Dia mulai bisa membaca. Bukan huruf alfabet, tapi aksara hiragana Jepang. Setiap bertemu tulisan hiragana, dia spontan melewatkan jarinya pada tulisan itu, membaca hurufnya satu per satu. Dia mencoba membaca sendiri buku cerita anak-anak yang dipinjam di perpustakaan. Tapi dia masih belum betah berlama-lama membaca. Setelah satu dua kalimat diejanya dengan betul, dia melanjutkan bacaan dengan kata-katanya sendiri.
Hiragana itu aksara fonetik. Satu aksara mewakili satu suku kata. Mengeja rangkaiannya lebih mudah dibanding mengeja huruf alfabet. Tidak heran anak-anak Jepang sampai dewasa kadang kesulitan untuk membaca alfabet, karena terbiasa dengan hiragana dan katakana.
Hiragana itu aksara fonetik. Satu aksara mewakili satu suku kata. Mengeja rangkaiannya lebih mudah dibanding mengeja huruf alfabet. Tidak heran anak-anak Jepang sampai dewasa kadang kesulitan untuk membaca alfabet, karena terbiasa dengan hiragana dan katakana.
Hanifa lagi senang bermain peran belakangan ini. Dia bisa berganti peran setiap saat. Menjadi ibu, menjadi bayi, menjadi kakak, menjadi salah satu tokoh dalam buku ceritanya. Dia memainkannya dengan sungguh-sungguh. Gaya bicara, isi pembicaraan dan tingkah lakunya berubah sesuai dengan perannya. Ayahnya dan saya tentu saja juga kebagian peran. Dia yang menetapkan peran itu, dia jadi sutradara untuk panggung yang diciptakannya.
Sore ini kami bermain peran dari cerita fabel Aesop, Kisah Semut dan Belalang. Dalam cerita itu si belalang yang santai menegur semut-semut yang rajin bekerja di bawah panas terik. Dia bertanya mengapa mereka tidak bersantai dulu. Semut menjawab, mereka bekerja mengumpulkan makanan untuk persiapan musim dingin. Belalang menertawakan semut, karena merasa musim dingin masih lama, dan dia terus bersantai di bawah daun-daun.
Saya menjadi belalang, Hanifa sang sutradara menjadi semut. Bagian awal dilewati dengan benar, sesuai jalan cerita. Semut mengumpulkan makanan berupa potongan kertas warna-warni. Belalang bernyanyi-nyanyi dan menertawakan semut yang terlalu keras bekerja. Tiba musim dingin, belalang tidak punya makanan. Di mana-mana hanya ada salju putih menutupi rumput dan daun-daun pohon. Belalang, sesuai cerita aslinya, datang mengetuk pintu rumah semut mengemis minta makanan. Di sini sutradara saya membelokkan jalan cerita. Bukannya menolak memberi makanan--untuk memberi pelajaran pada si belalang--semut yang ini justru menghadiahinya setumpuk makanan lezat dengan gembira.
Sore ini kami bermain peran dari cerita fabel Aesop, Kisah Semut dan Belalang. Dalam cerita itu si belalang yang santai menegur semut-semut yang rajin bekerja di bawah panas terik. Dia bertanya mengapa mereka tidak bersantai dulu. Semut menjawab, mereka bekerja mengumpulkan makanan untuk persiapan musim dingin. Belalang menertawakan semut, karena merasa musim dingin masih lama, dan dia terus bersantai di bawah daun-daun.
Saya menjadi belalang, Hanifa sang sutradara menjadi semut. Bagian awal dilewati dengan benar, sesuai jalan cerita. Semut mengumpulkan makanan berupa potongan kertas warna-warni. Belalang bernyanyi-nyanyi dan menertawakan semut yang terlalu keras bekerja. Tiba musim dingin, belalang tidak punya makanan. Di mana-mana hanya ada salju putih menutupi rumput dan daun-daun pohon. Belalang, sesuai cerita aslinya, datang mengetuk pintu rumah semut mengemis minta makanan. Di sini sutradara saya membelokkan jalan cerita. Bukannya menolak memberi makanan--untuk memberi pelajaran pada si belalang--semut yang ini justru menghadiahinya setumpuk makanan lezat dengan gembira.
Malam ini Hanifa menyelesaikan buku Iqro' 1. Perjalanan yang panjang. Dimulai sejak enam bulan yang lalu ketika dia mulai diperkenalkan dengan huruf Hijaiyah.
Perkenalan pertamanya diperoleh lewat kelompok TPA anak-anak Muslim Indonesia di Tokyo Barat. Kelompok kecil itu terdiri dari empat-lima anak berusia di bawah tiga tahun, diajar oleh ibu-ibu mereka sendiri secara bergantian. Mereka diajak menyanyikan deretan huruf di poster Hijaiyah dengan intonasi mirip lagu Twinkle twinkle Little Star. Riuh rendah tangisan anak-anak dan teriakan mereka rebutan mainan selalu mengiringi pelajaran itu. Setelah menyanyi, anak-anak mewarnai gambar huruf hijaiyah yang dikopi dari sebuah buku terbitan DAR Mizan. Kelas ini tidak efektif. Pertemuan direncanakan sekali sebulan, tapi hanya berjalan tiga-empat kali, kemudian absen berbulan-bulan sampai sekarang.
Di rumah, pelajarannya dilanjutkan dengan menggunakan flashcard hijaiyah yang dibuat sendiri. Kemudian sebuah software yang bisa didownload gratis dari Internet sangat membantu mempercepat proses pengenalan awal ini. Software bernama Al-Falah itu menyuarakan cara membaca setiap huruf dan dilengkapi animasi sederhana contoh kata yang menggunakan huruf-huruf itu. Hanifa senang sekali mengulang-ulang memainkan program itu di komputer. Menarik, memang. Terutama pada bagian animasi itu. Contoh kata yang ditampilkan semuanya adalah nama-nama binatang. Ketika dikenai kursor, gambar itu bergerak atau bersuara. Cara baca huruf hijaiyah jadi cepat melekat dalam ingatan Hanifa berkat software itu.
Ketika mulai menggunakan buku Iqro', terjadilah berbagai variasi. Suatu kali, selama beberapa minggu, pernah dia menginginkan boneka-bonekanya ikut belajar bersama. Sekitar dua puluh boneka kecil dan besar dijejer di sekeliling dia setiap kali akan mulai belajar. Proses menyusun itu sendiri bisa memakan waktu seperempat jam. Saya sampai bosan menunggunya. Huruf-huruf dalam buku itu kemudian ditunjuk oleh salah satu boneka, dan Hanifa--yang berperan sebagai sensei bagi boneka-murid itu--membacakannya.
Pernah juga dia jenuh membaca huruf satu per satu, barangkali karena dia melihat huruf di Al-Quran yang kami baca tidak seperti itu. Dia tidak mau melanjutkan belajar di halaman yang semestinya, tapi meminta Al-Quran besar atau memilih halaman terakhir di buku Iqro' yang berisikan teks panjang-panjang. Saya jadi teringat pengalaman sendiri waktu kecil. Rasanya memang ingin cepat-cepat melewatkan tahap mengeja, ingin segera bisa membaca Al-Quran seperti menyanyi sebagaimana yang dilakukan orang dewasa di sekitar saya.
Selama masa ini jadwal belajar ngajinya agak dikendurkan. Tidak mesti setiap malam, dan tidak mesti di halaman yang berurutan dari hari ke hari. Kebosanan ini berpuncak dengan penolakan. Selama beberapa minggu dia tidak mau sama sekali untuk membuka buku Iqro'. Melihatnya pun seperti anti. Di sini terjadi masa jeda yang cukup lama. Untungnya ada software Al-Falah. Dia tetap suka memainkan software itu, menjaga ingatannya tentang cara baca huruf hijaiyah sambil bermain.
Dua bulan belakangan kemauan belajarnya jauh lebih stabil. Sejak di dinding kamar terpampang poster hijaiyah yang baru dibawakan ayahnya ketika pulang ke Indonesia September lalu. Dia mau belajar setiap malam, bahkan memintanya sendiri, dan menyelesaikan satu-dua halaman setiap kalinya. Tidak ada lagi tuntutan untuk ditemani jejeran boneka, atau melompat ke bagian akhir.
Dia menemukan caranya sendiri untuk membantu mengingat cara baca huruf. Ketika tiba di huruf Sa, misalnya, "Nama Mas Said pakai huruf ini, ya," katanya. Ha, untuk Hanif, Hanifa. Sya, seperti untuk Hasya. Sha, untuk Shadiq, ayahnya Hanif. Dan seterusnya. Dia mengaitkan bunyi itu dengan kata-kata dan nama-nama orang yang dia ketahui.
Ketika tiba di halaman terakhir Iqro' 1, dia berkata, "Nanti, Tomi diajar Iqro' sama Onechan, ya."
Perkenalan pertamanya diperoleh lewat kelompok TPA anak-anak Muslim Indonesia di Tokyo Barat. Kelompok kecil itu terdiri dari empat-lima anak berusia di bawah tiga tahun, diajar oleh ibu-ibu mereka sendiri secara bergantian. Mereka diajak menyanyikan deretan huruf di poster Hijaiyah dengan intonasi mirip lagu Twinkle twinkle Little Star. Riuh rendah tangisan anak-anak dan teriakan mereka rebutan mainan selalu mengiringi pelajaran itu. Setelah menyanyi, anak-anak mewarnai gambar huruf hijaiyah yang dikopi dari sebuah buku terbitan DAR Mizan. Kelas ini tidak efektif. Pertemuan direncanakan sekali sebulan, tapi hanya berjalan tiga-empat kali, kemudian absen berbulan-bulan sampai sekarang.
Di rumah, pelajarannya dilanjutkan dengan menggunakan flashcard hijaiyah yang dibuat sendiri. Kemudian sebuah software yang bisa didownload gratis dari Internet sangat membantu mempercepat proses pengenalan awal ini. Software bernama Al-Falah itu menyuarakan cara membaca setiap huruf dan dilengkapi animasi sederhana contoh kata yang menggunakan huruf-huruf itu. Hanifa senang sekali mengulang-ulang memainkan program itu di komputer. Menarik, memang. Terutama pada bagian animasi itu. Contoh kata yang ditampilkan semuanya adalah nama-nama binatang. Ketika dikenai kursor, gambar itu bergerak atau bersuara. Cara baca huruf hijaiyah jadi cepat melekat dalam ingatan Hanifa berkat software itu.
Ketika mulai menggunakan buku Iqro', terjadilah berbagai variasi. Suatu kali, selama beberapa minggu, pernah dia menginginkan boneka-bonekanya ikut belajar bersama. Sekitar dua puluh boneka kecil dan besar dijejer di sekeliling dia setiap kali akan mulai belajar. Proses menyusun itu sendiri bisa memakan waktu seperempat jam. Saya sampai bosan menunggunya. Huruf-huruf dalam buku itu kemudian ditunjuk oleh salah satu boneka, dan Hanifa--yang berperan sebagai sensei bagi boneka-murid itu--membacakannya.
Pernah juga dia jenuh membaca huruf satu per satu, barangkali karena dia melihat huruf di Al-Quran yang kami baca tidak seperti itu. Dia tidak mau melanjutkan belajar di halaman yang semestinya, tapi meminta Al-Quran besar atau memilih halaman terakhir di buku Iqro' yang berisikan teks panjang-panjang. Saya jadi teringat pengalaman sendiri waktu kecil. Rasanya memang ingin cepat-cepat melewatkan tahap mengeja, ingin segera bisa membaca Al-Quran seperti menyanyi sebagaimana yang dilakukan orang dewasa di sekitar saya.
Selama masa ini jadwal belajar ngajinya agak dikendurkan. Tidak mesti setiap malam, dan tidak mesti di halaman yang berurutan dari hari ke hari. Kebosanan ini berpuncak dengan penolakan. Selama beberapa minggu dia tidak mau sama sekali untuk membuka buku Iqro'. Melihatnya pun seperti anti. Di sini terjadi masa jeda yang cukup lama. Untungnya ada software Al-Falah. Dia tetap suka memainkan software itu, menjaga ingatannya tentang cara baca huruf hijaiyah sambil bermain.
Dua bulan belakangan kemauan belajarnya jauh lebih stabil. Sejak di dinding kamar terpampang poster hijaiyah yang baru dibawakan ayahnya ketika pulang ke Indonesia September lalu. Dia mau belajar setiap malam, bahkan memintanya sendiri, dan menyelesaikan satu-dua halaman setiap kalinya. Tidak ada lagi tuntutan untuk ditemani jejeran boneka, atau melompat ke bagian akhir.
Dia menemukan caranya sendiri untuk membantu mengingat cara baca huruf. Ketika tiba di huruf Sa, misalnya, "Nama Mas Said pakai huruf ini, ya," katanya. Ha, untuk Hanif, Hanifa. Sya, seperti untuk Hasya. Sha, untuk Shadiq, ayahnya Hanif. Dan seterusnya. Dia mengaitkan bunyi itu dengan kata-kata dan nama-nama orang yang dia ketahui.
Ketika tiba di halaman terakhir Iqro' 1, dia berkata, "Nanti, Tomi diajar Iqro' sama Onechan, ya."
Subscribe to:
Posts (Atom)