Tampaknya saya keliru mengatakan bahwa badai amuk Hanifa sudah reda. Mungkin itu hanya angan-angan saya saja, harapan yang terlalu besar untuk disampirkan pada Hanifa. Dia tetap ingin mendominasi seluruh perhatian hanya untuk dia, masih belum siap berbagi, dan barangkali takkan pernah siap untuk itu.
Tadi malam angin ribut itu bertiup lagi. Kecemburuan Hanifa menyala hebat, dia benar-benar bikin pusing. Dia minta gendong pada saat Rasyad perlu menyusu, dia tidak mau membiarkan saya menggendong adiknya yang sedang menangis. Dia meledakkan tangisan yang sulit dihentikan. Kita tidak bisa tahu apa yang dapat meredakan tangisannya pada saat itu, karena semua yang kita lakukan tampak salah di matanya. Barangkali yang diinginkannya adalah penelantaran adiknya secara terang-terangan.
Memang kadang-kadang dia bisa bersikap sangat baik pada adiknya. Dia sesekali menunjukkan sikap ingin melindungi dan sangat peduli. Kalau saya terpaksa shalat sambil menggendong Rasyad, dia berpesan, "Rasyadnya jangan sampai jatuh ya, ibu." Kalau salah satu kaos kaki atau sarung tangan Rasyad terlepas, dia akan buru-buru mencarikannya dan memasangkannya kembali. Setelah Rasyad selesai menyusu, dia sering bertanya untuk memastikan apakah sendawanya sudah keluar. Dia mau dimintai tolong mengambilkan pampers atau barang ini-itu untuk keperluan adiknya. Belakangan dia mendesak ikut membantu mengganti pampers Rasyad dan menggendongnya.
Tapi di lain waktu dia bisa berubah 180 derajat, tidak suka dengan kehadiran adiknya, tidak rela jika adiknya diberi sedikit perhatian. Dia menghentikan kegiatan yang sedang asyik dilakukannya kemudian menangis dan minta gendong persis pada saat adiknya mulai menangis dan perlu disusui. Dia memunculkan macam-macam permintaan yang sulit dipenuhi dalam keadaan terdesak, tapi keinginannya itu tidak bisa ditunda, perbuatannya tidak bisa dialihkan.
Ledakan tangisnya pada saat itu bukan bikin iba, tapi justru terasa repulsive. Semakin dia mendesak, semakin dia memancing rasa ingin menolak. Sungguh butuh kesabaran yang berlimpah ruah dalam menghadapinya. Saya harus berperang dengan ego sendiri untuk melayaninya, karena jika tidak cepat-cepat dilayani kemarahannya akan makin besar. Mas Budi bisa lebih sabar daripada saya dalam soal ini. Kesabarannya bikin saya ingin menangis. Mas Budi sepertinya selalu bisa menelan kemarahannya. Saya sekarang jadi bisa mengerti mengapa sampai terjadi banyak kasus child abuse. Kesabaran kita tidak selalu bisa tersedia dalam jumlah yang sepadan dengan yang dituntut oleh keadaan. Saya tidak ingin terpeleset ke sana, karena itu doa saya sekarang adalah agar Tuhan memberi saya limpahan energi baru dan kesabaran setiap hari.
No comments:
Post a Comment