Anak-anak bermain seperti arkeolog, mengumpulkan barang-barang kecil dan menumpuknya di berbagai tempat di dalam rumah. Atau bukan arkeolog, tapi malah berang-berang, binatang yang tinggal di pinggir sungai atau rawa-rawa, yang mengumpulkan patahan-patahan kayu dan pelepah daun nipah di sarang mereka. Kalau kita suatu hari membongkarnya, kita kaget menemukan artefak dari masa lalu, barang-barang yang kita duga sudah lama hilang atau terbuang.
Laci meja rias saya kini sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi karena dipenuhi koleksi Hanifa, potongan kertas, pecahan lilin, patahan krayon, penggalan mainan yang rusak, semua digabung untuk jadi bahan masak-masakannya, atau dijadikan kado untuk disampaikan pada acara ulangtahun salah satu bonekanya yang bisa saja terjadi setiap waktu. Apa yang sudah ditatanya kadang tidak boleh bergeser semili pun, tak boleh berkurang sebiji pun. Anak-anak sangat cermat dengan dunia ciptaannya, dan sangat autoritatif di dalamnya.
Malam hari ketika dia sudah tertidur, barang-barang kecil yang tak jelas bentuk dan gunanya itu masih berserakan di lantai. Saya memandanginya, bukti aktivitas Hanifa di rumah seharian itu, belum sempat dibereskannya karena kantuk tiba-tiba menyerang matanya, dia tertidur kelelahan. Saya harus memerangi keinginan mengumpulkan dan membuangnya ke tempat sampah. Di mata dewasa saya semua itu tampak seperti tak ada artinya. Dunia memang tampak berbeda dalam pandangan anak-anak.
No comments:
Post a Comment