Hanifa mulai mengenal huruf. Ketika saya membaca, dia menunjukkan huruf-huruf yang dikenalnya pada sampul atau halaman yang sedang terbuka. Dunia di sekitarnya akan semakin terbuka, sedikit-sedikit dia tidak akan lagi melihat sebuah aksara tanpa membacanya. Sebuah lompatan besar yang tak mungkin membawa dia kembali ke keadaan sebelumnya. Sebentar lagi dia akan mampu merangkai bunyi huruf menjadi kata, kata menjadi kalimat. Betapa sebuah keajaiban aksara itu. Di tangannya kini ada sebuah "senjata" yang luar biasa.
Pagi ini hanifa duduk di toilet keong sambil wajahnya berkerut seperti sedang berhadapan dengan teka-teksi silang, kemudian tertawa lebar melihat saya menirukan ekspresinya. Masih sulit untuk mengajak Hanifa kencing di toilet, dia selalu bilang mau kencing setelah popoknya basah. Tapi untuk buang air besar dia sudah lebih siap, mungkin karena dorongannya lebih terasa dan datang jauh sebelum bom pertama jatuh.
Menonton pengeboman irak, melihat langit benderang diiringi ledakan bertubi-tubi, Hanifa mencengkeram tangan saya kuat-kuat sambil menyembunyikan wajahnya. Dia mulai menumbuhkan rasa takut yang agak berlebihan pada bunyi-bunyian keras atau yang tak kelihatan sumbernya. Mendengar bunyi air mendidih, minyak panas menggerung saat saya menggoreng atau penyedot debu dari lantai atas, dia buru-buru lari menangkap saya dari belakang dan menyembunyikan wajahnya di balik punggung baju saya.
Hanifa tidak lagi menyebut kismis "mimis". Dia masih doyan kismis, sekali suap lima biji, bisa tanpa henti selama setengah jam. Dia lihat gambar di bungkusan kismis itu, dia berkata, "kismis ini dibuat dari anggur, ada gambar anggur di bungkusnya." Pintar membuat kesimpulan.
No comments:
Post a Comment