Kadang-kadang Hanifa seperti sebuah mesin kata-kata. Dia berjalan ke sana ke mari sambil berbisik-bisik, mengulangi lirik sebuah lagu, penggalan percakapan yang dia dengar, istilah baru yang melintas di kepalanya. "Ingat-ingat pesan Mama," katanya tiba-tiba suatu kali, tidak ada hubungannya dengan apa yang sedang dia lakukan atau apa yang sedang kami bicarakan. Rupanya dia mendengar kalimat itu diucapkan Andy dua hari sebelumnya ketika sedang menulis email pesan Umak ke Teta di Padang dengan subjek seperti itu. "Dua anaknya meninggal," katanya dalam sebuah cerita bonekanya, itu penggalan yang dia tangkap dari cerita Uci tentang seorang saudara sepupu saya di Rimo kemarin.
Dia sering mencoba menggunakan kata berulang-ulang dalam kalimatnya, terutama sebuah kata baru yang dia tangkap dari percakapan orang dewasa di sekitarnya. Beberapa hari yang lalu kata baru tersebut adalah "belakangan." Dia mencoba membuat kalimat dengan menggunakan kata itu, tapi dia memasangkannya dengan kata "depanan." Jadi suatu kali dia bilang: "Bu, kita mancing yuk," katanya sambil memegang sebatang sumpit. Kami lagi duduk di kasur lipat. "Ibu belakangan, Ifa depanan," dia lantas duduk di depan saya. Saya tidak langsung mengoreksinya. Hanya menyimpan geli saya sendiri. Setelah beberapa hari dengan pengertian yang salah itu akhirnya dia menangkap sendiri kekeliruannya. Sekarang dia sudah memasangkan kata "belakangan" dengan "duluan."
Hari ini saya mendapat proyek pembuatan rumah boneka dari kardus. Hanifa membuat bonekanya dari sisa kardus. Dia sudah tidak sabar. Dia mainkan boneka itu dengan ruangan rumah boneka yang masih belum berpintu. Kata-kata meluncur terus dari mulutnya sepanjang permainannya. Proyek itu rupanya membuat khayalnya bersayap. Rupanya, yang dibutuhkan anak-anak ketika bermain bukan hanya benda-benda. Tapi juga kata-kata.
Menggambar lagi
Asyik benar kalau Hanifa sedang menggambar. Dalam gambarnya dunia bisa jadi sangat ajaib. Mataharinya ada dua, dia bilang. Pohonnya tumbuh sampai ke langit dan di samping pohon itu ada temannya si pohon: es krim sebesar pohon. Di dalam rumahnya ada ikan paus berbaju putih yang tinggal di dalam lampu.
Tapi beberapa pekan belakangan ini dia hanya menggambar orang. Gambar orangnya bukan lagi bundaran yang berkaki dan bertangan itu. Sekarang dia sudah menambahi badan di bawah bundaran kepala. Tangan dan kaki melekat di badan itu---gambar orang yang secara anatomis sudah benar.
Pertama-tama di atas selembar kertas kosong itu dia akan menggambar satu sosok anak perempuan, berukuran besar, memenuhi hampir semua kertas itu. Ini onechan, katanya. Setelah satu gambar itu selesai, sesuai dengan ceritanya, dia akan menambahi gambar adik laki-laki di sampingnya, kecil. Atau, gambar teman-teman perempuan di samping kanan dan kirinya, kecil. Atau, gambar ibu yang ikut pergi bersamanya, kecil.
Tapi beberapa pekan belakangan ini dia hanya menggambar orang. Gambar orangnya bukan lagi bundaran yang berkaki dan bertangan itu. Sekarang dia sudah menambahi badan di bawah bundaran kepala. Tangan dan kaki melekat di badan itu---gambar orang yang secara anatomis sudah benar.
Pertama-tama di atas selembar kertas kosong itu dia akan menggambar satu sosok anak perempuan, berukuran besar, memenuhi hampir semua kertas itu. Ini onechan, katanya. Setelah satu gambar itu selesai, sesuai dengan ceritanya, dia akan menambahi gambar adik laki-laki di sampingnya, kecil. Atau, gambar teman-teman perempuan di samping kanan dan kirinya, kecil. Atau, gambar ibu yang ikut pergi bersamanya, kecil.
Subscribe to:
Posts (Atom)