Ini masa-masa transisi yang sulit untuk Hanifa. Dia masih kaget mendapatkan bahwa saya kini tidak selalu tersedia untuk dia, bahwa saya menghabiskan begitu banyak waktu untuk mengurus si adik kecil itu. Dia marah ketika saya lagi-lagi didapatinya sedang menyusui atau mengganti popok atau menggendongnya. Ada saat-saat ketika dia harus menunggu atau mengalah karena saya sedang mengurusi keperluan mendesak adiknya. Dia masih menunggu dan mengalah dengan rasa terpaksa untuk saat ini. Ini membuat dia kesal.

Dia tampak agak labil mengatur emosinya menerima kehadiran Rasyad. Kadang seperti sangat senang, menciumi adiknya berkali-kali, mencoba mengendongnya, tidur sambil memeluknya, dan menjagainya seperti seorang kakak yang penuh pengertian. Tapi di lain waktu begitu marah dan cemburu, tak rela kalau adiknya diberi perhatian. Sering dia seperti menahan air matanya supaya tangis tidak meledak, suaranya serak dan terbatuk-batuk sambil menjelaskan apa yang membuat dia marah. Dia tidak bisa langsung menghubungkan kemarahannya dengan kehadiran adiknya, dia marah karena saya tidak bisa memenuhi permintaannya. Kadang dia mendesakkan sebuah permintaan yang terlalu sulit untuk dipenuhi. Minta digendong atau mengajak saya main bola pada saat saya sedang menyusui, atau marah karena sesuatu yang begitu remeh. Dia mengembangkan sebuah keterampilan baru: menemukan saat yang paling sulit untuk menuntut sesuatu yang mustahil.

Kesabaran seperti sedang dituntut untuk berada pada level tertingginya saat ini. Saya berusaha untuk tidak ikut terpancing marah ketika dia sedang banyak tuntutan. Saya terus mengingat-ingat kata Richard Eyre itu, "Catch her doing something good and praise her lavishly," untuk membuat dia merasa lebih diperhatikan secara positif. Saya coba mengabaikan perilaku negatifnya dengan bersikap tidak peduli pada saat dia melakukan sesuatu yang jelek, dan memuji habis-habisan pada saat dia melakukan kebaikan. Tapi, di atas semua itu sabar, sabar, sabar....
Hanifa mendapat apa yang diinginkannya: adik laki-laki. Dia menyambut kehadirannya seperti sebuah hadiah yang ditujukan khusus untuk dirinya saja. Pada hari pertama adiknya berada di rumah, dia seperti ingin menghidupkan semua apa yang pernah dia khayalkan akan dilakukan untuk adiknya. Dia bacakan buku, dia beri mainan, dia letakkan boneka di sampingnya untuk menemani tidur adik bayi berumur seminggu yang masih malas membuka matanya itu. Dia ingin menggendongnya, tentu saja. Sudah sejak lama dia membayangkan akan menggendong adik bayi seperti layaknya menggendong boneka kewpie yang dia bawa ke mana-mana selama saya di rumah sakit. Dia tampak sangat senang mendapatkan adik.

Tapi beberapa jam kemudian, realitas mulai menampar. Tengah malam ketika dia sedang nyenyak, tidurnya terganggu oleh tangisan bayi. Pertama-tama dia hanya membuka sedikit matanya, mencoba kembali tidur. Tapi tangisan bayi yang sedang sakit perut di tengah malam itu tidak segera berhenti. Hanifa tiba-tiba berteriak keras, menampakkan kekesalannya, "Huuuh! Gendong!!" Reaksi yang mengejutkan. Terbangun dengan suara keras yang tidak kunjung berhenti barangkali tidak akan membuat kesal sedemikian, tapi setiap kali dia membuka sedikit matanya, pemandangan yang terlihat adalah saya sedang menggendong adiknya lagi.

Dia masih ingin perhatian yang tak terbagi. Bagaimana pun dia terlihat siap dan senang membayangkan adanya seorang adik, dia tetap perlu masa penyesuaian ketika berhadapan dengan kenyataan baru ini.