Hanifa selalu merasa dirinya sudah besar. Dia ingin sekali dianggap sama tinggi atau lebih tinggi daripada saya, ukuran telapak tangannya sama dengan saya, kakinya bisa memakai sepatu saya. Habis makan dalam porsi yang agak banyak, dia merasa tingginya langsung bertambah dan berat badannya naik. Dia akan segera pergi ke timbangan untuk melihat sudah berapa pertambahan berat badannya, dan angka di timbangan itu tidak bergerak dari 13 kg sejak beberapa bulan lalu.
Kalau sedang bermain di tempat umum, dia suka mencari anak yang lebih besar darinya. Kalau kebetulan ada anak besar di tempat bermain itu, dia akan membuntuti dan meniru apa saja yang dikerjakan dan diucapkan anak itu, sampai akhirnya terjadi dua kemungkinan: anak itu senang dan mengajak dia bermain, atau anak itu kesal dan menyuruh dia berhenti meniru atau membuntutinya. Tapi seringnya, anak besar itu akhirnya senang dan Hanifa bisa bermain bersamanya.
Favoritnya adalah anak usia delapan hingga sepuluh tahunan, anak perempuan yang sudah bersekolah, berambut panjang, berbaju merah muda dan berani pergi-pergi sendirian. Menjelma anak seusia itu seperti menjadi impiannya. Maka dia tidak mau rambutnya dipotong, setiap habis mandi minta diikatkan rambutnya seperti anak gede yang pernah dia lihat. Tapi kepadanya sering dikatakan bahwa dia lebih cantik pakai kerudung, seperti Nisa dalam Seri Cerita Balita.
Klaimnya sebagai "anak gede" sering jadi senjata kami untuk mendorong (atau memaksa?) dia melakukan sesuatu. "Katanya sudah gede, kok nggak mau makan sendiri," atau "Kan mau cepat anak gede, makanannya dihabisin ya," atau "Kalau anak gede nggak minta digendong lagi."
Barangkali salah, menjadikan klaim itu sebagai senjata. Karena kalau lagi begitu, diam-diam dalam hati dia barangkali menyesali keinginannya untuk jadi anak gede, barangkali dia ingin tetap jadi anak kecil yang sepertinya serba tidak mesti bertanggung jawab. Mestinya dia dibuat nyaman saja dengan usianya berapa pun, dan perbuatan yang baik tidak dikaitkan dengan usia yang belum ada di tangannya. Kadang-kadang orangtua tanpa disadari melakukan sesuatu yang membunuh cita-cita anak.